Ibu Kost

Cerita ini terjadi beberapa bulan yang lalu. Waktu itu saya harus dinas ke Surabaya, dari kantor saya mendapat tiket kereta api Argo Bromo, karena kereta api akan sampai di Surabaya pada pukul 04.00 pagi, maka saya hubungi teman saya yang kost dekat kantor untuk dapat istirahat sambil menunggu jam kantor.

Seperti biasa saya sampai di kost teman saya jam 04.45, saya langsung menuju ke kamar teman saya di lantai II, untungnya terdapat dipan tambahan yang dapat saya pakai untuk istirahat. Saya langsung tidur lagi karena sangat ngantuk dan saya baru ke kantor nanti siang setelah istirahat makan. Jam 09.00 saya baru bangun, teman saya sudah tidak ada lagi di kamarnya berangkat kerja, juga teman kostnya yang lain. Lalu saya turun ke lantai I untuk mandi, karena kebetulan kamar mandi di lantai II lagi rusak dan masih dibetulkan.

Selesai mandi (hanya menggunakan handuk dililitkan di badan) saya keluar dari kamar mandi menuju lantai II. Pada saat mau naik tangga saya dipanggil ibu kost teman saya, "Mas, itu sudah disiapkan kopinya, silakan langsung di minum, mumpung masih hangat", ibu kost teman saya itu umurnya kira-kira 30 tahun lebih sedikit, langsung saja saya menuju ke meja makan yang dimaksud dan duduk untuk minum kopi yang sudah disediakan. Ibu kost itu juga menemani saya di meja makan minum kopi. Sambil mijit-mijit pundaknya ibu kost bertanya.
+ "Kopinya cukup manis nggak Mas?"
-"Sudah kok bu, pas banget, tetapi ibu kok kelihatan sakit?"
+ "Iya nich pundak ibu agak sakit",
-"Biasa dipijit nggak bu?"
+ "Iya sich, tapi pembantu ibu lagi ke pasar."
-"Kalau mau saya bisa bantuin pijit sebentar bu supaya bisa agak baikan?"
"Boleh."
Lalu saya pijat pundaknya sebentar, kelihatannya sich nggak terlalu banyak masalah dengan pundaknya. Dia bilang:
+ "Wah nikmat juga ya pijatan Mas ini, sebenarnya pinggang ibu juga agak keseleo sedikit",
+ "Ibu mau dipijitin pinggangnya, tapi kalau pijit pinggang harus sambil tidur karena posisinya susah kalau sambil berdiri."
+ "Boleh saja kalau Mas nggak keberatan kita ke kamar ibu saja ya?"
-"Yuuk."
Sambil saya ikuti langkahnya menuju kamar dia.

Sampai di kamar langsung saja dia tidur tengkurap di tengah tempat tidur, saya jadi bingung bagaimana caranya mijit dia, rupanya dia mengerti kebingungan saya dia bilang "Mas langsung saja naik di tempat tidur dan pijitin ibu, kalau butuh body lotion itu ada di meja rias ibu." Saya ambil body lotion yang dimaksud dan menuju ke tempat tidurnya sambil saya bilang "Bu, bajunya tolong di buka bagian atasnya supaya saya bisa pijit pinggang ibu." Langsung dia bangun lagi dari tempat tidurnya dan melepas dasternya ternyata di balik dasternya itu sudah tidak ada apa-apa lagi alias bugil. Saya hanya bisa bengong saja melihat pemandangan yang aduhai ini, bodinya termasuk lumayan bagus, dengan payudaranya yang tidak terlalu besar dan putingnya yang tegak menantang berwarna coklat kemerahan, dan bulunya yang di potong pendek dan rapi berbentuk segitiga, dan pantatnya yang aduhai bentuknya, walaupun wajahnya tidak terlalu cantik, tetapi bodinya yang yahud bikin tegang penis saya. Sampai jakun saya naik turun melihat pemandangan tersebut. Dia tersenyum saja melihat saya bengong melihati dia.
+ "Mass, jangan bengong achh, cepet bantuin ibu."
+ "Mas, cepet saja tuh handuk di lepas, lihat tuch yang di dalam sudah pingin nongol lihat temennya", karena saya hanya pakai handuk yang dililitkan tentu saja penis saya yang sudah tegang berat nongol dari lilitan dan kelihatan penis saya. Melihat saya masih bengong saja, dia dekati saya sambil menarik lilitan handuk saya, begitu handuk saya lepas penis saya langsung mengacung.
+ "Mas, gede juga ya penisnya", sambil dipijit-pijit dengan lembut dan dia jilati penis saya dan sekali-sekali memasukkan penis saya ke mulutnya sampai 1/2 nya, saya sudah nggak bisa mikir apa-apa lagi karena rasanya nikmat banget, saya sudah nggak sabar lagi saya raih payudaranya dengan dua tangan, dan saya angkat badannya yang masih jongkok ke ranjang.

Langsung saya ciumi bibirnya yang langsung tanggap dengan mengeluarkan lidahnya, saya mainkan lidahnya dengan lidah saya sambil tangan saya bergerilya memegang payudaranya, dan tangannya rupanya tidak mau kalah, karena dia juga memegang penis saya sambil di urut-urut. Lalu saya putar posisi 69, saya ciumi mulai dari bibirnya, terus turun ke payudaranya, waktu saya jilat pentilnya yang sudah keras dia juga jilat pentil saya, rasanya nikmat sekali. Terus saya turun ke pusarnya, dan pelan-pelan menyusuri kakinya yang sudah celentang, saya jilati dari pusar sampai ke pahanya dan pelan-pelan balik lagi ke bulunya yang rapi dan ke paha satunya lagi dan kembali ke vaginanya yang sudah basah.

Saya nggak mendengarkan desahannya karena dia juga melakukan yang sama untuk saya, dia jilat habis penis saya sampai ke zakar dengan sedikit di gigit-gigit, rasanya nikmat banget, lama juga saya lakukan 69 itu.
+ "Mass, shh, shh, udach acchh, nggak kuat lagi, masukin dong, achh."
Saya langsung balik badan dan arahkan penis saya ke vaginanya yang sudah basah, bless, terasa hangat dan licin, langsung saya kocok keras-keras penis saya. Terdengar ritihannya lagi
+ "Mass, shh, shh aduhh, achh", saya lihat mukanya makin memerah dengan sedikit mengerut di dahinya, rupanya dia menahan kenikmatan yang dialami. Kemudian dia berhenti goyang dan mendorong badan saya dan dibalik, rupanya dia ingin main di atas. Sambil goyang-goyang dia pegang payudaranya yang berayun-ayun seirama dengan goyangannya, tiba-tiba dia sorongkan payudaranya ke muka saya. + "Mass, diisep dong", rupanya dia mau klimaks, saya hisap payudaranya sambil saya remas yang satunya, gerakan dia lebih menggila lagi sambil mendesah-desah "Sshh, scchh, aduhh, acchh", lalu dia memeluk saya "Mass, aku keluar acchh", saya peluk dia sambil mencium pipinya, lalu saya cabut penis saya yang basah kena cairannya, karena saya belum selesai dan dia sudah kelelahan saya sikat dia dari belakang dengan doggy style, pelan-pelan saya masukan dan keluarkan penis saya, sampai hampir keluar semua, rupanya gerakan saya yang panjang-panjang ini juga dinikmati olehnya, karena saya dengar desahannya "Shh, shh, achh, achh", nggak lama kemudian saya juga keluar "sruut, srruut sruut,sruut", nggak pakai tanya saya keluarkan saja di dalam habis nikmat. Setelah itu saya rebahan di ranjangnya. Kemudian mandi lagi bersamanya.

Sejak itu saya jadi senang kalau di tugaskan ke Surabaya oleh kantor. Sekarang ini saya lagi siap-siap guna nanti malam berangkat ke Surabaya lagi dan saya sudah telepon dia untuk siap-siap manuver lagi.

Bu Lestari 02

Sambungan dari bagian 01


Kami terus mengalir tanpa halangan yang berarti. Maksudku tanpa tindak-tanduk yang dapat menimbulkan kecurigaan orang seisi rumah maupun tetangga. Sampai suatu hari Pak Falcon tetangga kami yang tinggal 6 rumah dari kami melangsungkan pernikahan anaknya. Seharian itu aku dirundung nafsu dan cemburu. Seperti biasanya jika dilingkungan perumahan itu ada pernikahan maka Pak Bagong dan Bu Tari akan menjadi penerima tamu. Pak Bagong akan berbaju beskap, berjarik, blangkon dan berkeris. Bu Tari akan berkebaya, berjarik dan berselendang dengan rambut konde yang rapi. Bu Tari sendiri tahu bahwa dengan pakaian seperti itulah seringkali aku mengungkapkan kekagumanku atas kecantikan dan seks apple yang ditimbulkannya.

Rasanya aku gelisah terus melihat kesintalan tubuh Bu Tari yang terlilit pakaian adat Jawa yang ketat itu. Jika berjalan pinggulnya bergoyang-goyang mengundang sensasi. Beberapa kali kutebar pandanganku berkeliling, selalu saja kulihat ada mata tamu pria entah muda, entah tua ada yang tengah melirik atau memperhatikannya. Semua itu membuatku pingin marah saja rasanya.

Tetapi sebelum seremoni perkawinan itu usai, tiba-tiba pembantu Bu Tari, yang biasanya aku panggil Mbak Suti datang mengabarkan bahwa barusan dia terima telepon di rumah yang mengabarkan adik Pak Bagong yang tinggal di kota P mengalami kecelakaan lalu lintas. Pak Bagong, Bu Tari, Yon, Mbak Suti dan aku akhirnya pamit pulang duluan pada Pak Falcon.

Sampai dirumah, Pak Bagong dan Ibu Tari menelepon balik ke kota P melakukan konfirmasi berita. Adik Pak Bagong bersama Dorti anaknyalah yang mengalami kecelakaan. Mobilnya tertabrak bis antar kota yang selip. Dua-duanya masuk IGD rumah sakit dan Pak Bagong sebagai anak tertua di keluarganya diminta datang. Teman sekamarku Yon sendiri ingin ikut nengok. Yon naksir berat pada Dorti, pernah menyatakan cinta dua kali. Tapi dua kali pula Dorti menolak. Sementara Ibu Tari sendiri harus tetap tinggal karena besok pagi ada tim BPKP dari Jakarta yang akan datang melakukan audit di kantornya. Ibu Tari key person yang harus ada.

Pak Bagong dan Yon berangkat ke kota P dengan mobilnya dan akan mampir ke rumah Pak Sarmin supirnya dulu untuk diajak berangkat. Aku, Bu Tari dan Mbak Suti ngobrol sebentar membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada adik Pak Bagong dan anaknya. Sampai Mbak Suti menguap beberapa kali. Selama ngobrol tak pernah mataku lepas dari busungnya dada Bu Tari dengan payudaranya yang montok dan sedikit terlihat. Bu Tari tahu aku selalu memperhatikannya, tapi dia membiarkan saja, bahkan seolah justru senang dan menikmati kekagumanku, birahiku dan kegusaranku.
"Sudahlah sana tidur kalau ngantuk, aku tidak balik lagi kerumah pak Falcon kok Ti, wong hampir selesai kok" Ucapnya. Bu Tari beranjak pergi katanya mau pipis. Ketika Bu Tari berjalan, pinggulnya yang bergoyang-goyang tak lepas mataku. Begitu padat, begitu bulat.

Mbak Suti langsung pamit tidur. Tinggallah aku di ruang tengah itu, sendiri, melamun. Sekian lama hubungan kami berjalan. Selama ini kami hanya sampai batas berpelukan, berciuman, saling tindih di ranjang dengan napas yang menderu-deru dan berujung orgasme tanpa coitus. Entah berapa kali penisku menekan-nekan dan menggesek-gesek di vaginanya yang basah di celana. Entah berapa kali spermaku membasahi celana dalamku sendiri dan celana dalam Bu Tari. Lantas walaupun penisku belum pernah sekalipun masuk ke vaginanya, kecuali hanya menggesek-gesek dan aku orgasme, masih perjakakah aku?

Langkah Bu Tari terdengar dan terus kupandangi sekujur tubuhnya yang semampai melenggok-lenggok, dari kepala sampai kaki ketika dia berjalan kearahku. Stagen di pinggangnya sudah tak ada hingga perutnya sedikit terlihat. Dadaku berdebar-debar. Berkali kali kutelan ludah.

"Kamu melihat Ibu, kaya Ibu ini apaan sih?", ucap Bu Tari genit mengibaskan tangan kanan di mukaku.
"Ibu cantik sekali, makin seksi, seksi sekali berkebaya dan Saya terangsang sekali" Ucapku asal saja menunjuk ke penisku.
"Hus. Sekali, sekali. Daripada melamun sini pijitin Ibu", Ucap Bu Tari duduk membelakakingiku dan menepuk pundaknya. Aku pijit kedua pundaknya perlahan-lahan. Bu Tari kadang menggeliat keenakan.

Makin lama pijitanku makin turun, ke punggungnya, ke tulang-tulang rusuknya, ke pinggangnya. Tak lama kutarik pundaknya dan kusandarkan punggungnya ke dadaku, kutempelkan pipi kananku ke pipi kirinya. Lalu kupijit kedua pahanya, kuelus-elus dan kuremas-remas sampai ke pinggulnya. Bu Tari memejamkan matanya. Pijitan bercampur elusan kedua tanganku merambat naik dan berhenti di dadanya untuk meremas-remas buah dada yang kurasakan besar dan kenyal itu. Mukaku kugesek-gesekan di rambut dan kondenya, pipinya, dan kukulum-kulum telinganya. Deru napas Bu Tari mulai tak teratur kadang diselingi desahan halus. Tangan kanannya mencoba meraih kepalaku, kadang mencengkram lembut rambutku. Telapak tangan kirinya digosok-gosokan kepipi kiriku. Remasan tanganku ke buah dadanya makin liar, mukaku meliuk-liuk menciumi apa saja di kepalanya. Kubuka kancing baju kebayanya. Sembulan sepertiga buah dada dari BH-nya indah sekali. Aku makin terangsang. Penisku yang berdiri sejak tadi ingin meledak rasanya. Kutarik baju kebayanya turun ke belakang hingga pundak dan lehernya bebas kuciumi dan jilati. Ibu Tari mengerang nikmat. Kulingkarkan kedua tanganku memeluknya erat-erat. Bibir Bu Tari yang setengah terbuka kusambar dengan bibirku dan kukulum habis. Ujung lidah kami beradu, kutelusuri lidahnya sampai seberapa jauh dapat masuk, ke rongga-rongga mulutnya. Begitu kami bergantian.

Aku dan Bu Tari mulai tak tahan, kurebahkan dia disofa. Kutelusuri tubuhnya, kuciumi dari muka, dada, perut paha, dan betisnya yang masih dibalut kain jarik. Naik lagi dan kutindih Bu Tari. Erangannya makin merangsangku. Kubuka ikat pinggangku.

"Jangan disini sayang. Nanti kalau Suti bangun..." Tiba-tiba ucap Bu Tari tak menyelesaikan kalimatnya. Kami berdiri. Bu Tari melepas ritsluiting celanaku, memasukan tangannya ke celana dalamku dan meremas-remas penisku yang tegang dengan geregetan.
"Heemm" Ucapnya lalu membimbingku masuk ke kamarnya berjalan mundur dengan memegang dan menarik penisku. Itu membuat kami tertawa.

Pintu kamar dikuncinya cepat-cepat. Kubuka bajuku dan Bu Tari setengah menunduk membuka celanaku lalu mencari penisku. Begitu dapat langsung dimasukan ke mulutnya, dijilati dihisap-hisap, diciumi dan kadang dikocok-kocok dengan tangannya. Yang begini belum pernah dia lakukan. Aliran kenikmatan merambat sampai ubun-ubun kepalaku. Aku memberinya isyarat agar melepaskan penisku. Aku dipuncak nafsu dan ingin memasukan penisku langsung saja ke vaginanya, tapi dia menolak. Badanku rasanya makin bergetar dengan tulang yang mau berlepasan dan syaraf-syaraf di tubuhku rasanya kelojotan nikmat. Bu Tari begitu bernafsu dan nikmat memainkan penisku di mulutnya

Aku tak tahan dan minta rebahan di ranjang. Bu Tari melepas baju kebayanya. Dengan tetap BH masih di dada dan kain jariknya yang belum terlepas, mulutnya langsung mengejar burung pusakaku sampai dua biji telornyapun dia cium, jilat dan hisap. Aku makin bergelinjang, melayang-layang nikmat. Hingga dipuncaknya, aku tak sempat lagi memberitahunya kalau spermaku mau keluar. Hingga akkhh..., crott..., croot..., Crroott. Spermaku muncrat di dalam mulut Bu Tari. Tapi Bu Tari justru malah bernafsu, menelannya dan terus menghisap-hisap penisku sampai bersih, kasat dan ngilu rasanya. Aku terkejut. Bangun terduduk.
"Ibu telan? Apa ibu tidak jijik?", Tanyaku bodoh.
Ibu Tari menggeleng, justru mukanya cerah, kepuasan terpancar di wajahnya. Aneh pikirku.
"Orang bilang, meminum air mani perjaka akan membuat perempuan awet muda. Lepas betul atau tidak yang terang Ibu sudah mencobanya barusan Sayang" Ucap Bu Tari lalu menciumiku dari muka sampai dadaku, sementara tangan kanannya terus meremas-remas penisku.
"Ayo lagi Sayang, Ibu pingin kamu puas" Ucap Bu Tari mesra. penisku yang tadi terkulai karena sudah keluar sperma dan shock mulai menegang lagi akhirnya. Bu Tari kembali mengulum dan menghisap-isap penisku.
"Kalau Ibu masih pingin, ambil semua sperma Saya" Ucapku, Ibu Tari tersenyum.

Kubuka BH-nya dan kutarik lilitan kain jariknya. Bu Tari berdiri untuk memudahkan melepas kain jariknya. Tubuhnya yang telanjang bulat langsung kuterkam, kurebahkan dan kutindih. Dua payudaranya yang besar itu kuhisap-hisap putingnya bergantian. Tangan kananku menggosok-gosok vaginanya. Kuciumi, kujilati dan kuhisap-hisap semua bagian yang menurut instingku bisa membangkitkan gairahnya. Bibir, lidah, telinga, leher, payudara, perut, pusar, paha, vagina, betis sampai ke jari dan telapak kakinya. Tubuh Bu Tari bergelinjangan tak karuan dadanya naik-turun kelojotan. Tangan kirinya meremas-meremas payudaranya dan tangan kanannya menggosok-gosok vaginanya sendiri. Konde rambut Bu Tari hampir terlepas. Mulutku naik lagi ke atas menyusuri betis dan paha hingga akhirnya berhenti di vaginanya. Dengan kedua tanganku kusibak pelan bulu vaginanya. Kulihat belahan vaginanya yang memerah berkilat dan bagian dalamnya ada yang berdenyut-denyut. Kuciumi dengan lembut, bau divaginanya membuat sensasi yang aneh. Tak pernah ada bau seperti ini yang pernah kukenal rasanya.

Dengan hidung kugesek-gesek belahan vagina Bu Tari sambil menikmati aroma baunya. Erangan dan gelinjangan tubuhnya terlihat seperti pemandangan yang indah sekaligus menggairahkan.

"Aakhhk..., eekhh..., nikmat sekali sayang. Teruuss sayang", Rintih Bu Tari.
Kujulurkan lidahku, kujilat sedikit vaginanya, ada rasa asin. Lalu dari bawah sampai atas kujulurkan lidahku menjilati belahan kewanitaannya. Begitu seterusnya naik turun sambil melihat reaksi Bu Tari.
"Akkhh..., Akkhh..., Akkhh..., Engghh" Bu Tari terus merintih nikmat, tangannya mencari tangan kananku, meremas-remas jariku lalu membawanya ke payudaranya. Aku tahu dia ingin yang meremas payudaranya adalah tanganku. Begitu kulakukan terus, tangan kananku meremas payudaranya, mulutku menjilati dan menghisap-hisap vaginanya, tangan kiriku mengelus-elus pinggang, paha sampai ke betisnya yang putih mulus dan halus itu.

"Akkhh..., sudah Sayang..., sudah..., ayo sekarang Sayang Ibu sudah tak tahan akkhh..., masukan sayang, masukan" Desah Bu Tari mengerang meraih kepalaku agar menghentikan jilatan di vaginanya dan minta disetubuhi. Tanpa harus mengulangi lagi permintaannya langsung saja aku merangkak naik, menindih tubuh Bu Tari. Bu Tari melebarkan pahanya. Penisku menuju vaginanya. Beberapa kali kucoba, memasukan, beberapa kali pula gagal. Aku tak tahu mana yang pas lubangnya, mana yang hanya belahan vagina. Tapi tangan Bu Tari segera membantu, memegang penisku, membimbing ke depan lubang vaginanya lalu berkata "Ya itu Sayang..., disitu..., tekan Sayang tekan..., disitu..., aakkhh..., ayo Sayang..., Ibu tak tahan..., oo.., akkhh" Ibu Tari merintih ketika penisku yang kutekan masuk seluruhnya ke lubang vaginanya. Sejenak tubuhku kaku, aku diam saja, aku nervous. Batang penisku rasanya terjepit oleh dinding vagina Bu Tari yang seperti berdenyut-denyut dan menghisap-hisap. Nikmat luar biasa. Ini yang pertama.

Bu Tari menggoyang-goyangkan pinggulnya, setengah berputar-putar dan kadang naik turun. Penisku yang tertancap di vaginanya yang setengah becek dibuat seperti mainan yang membuatnya nikmat tak karuan.
"Ayo Sayang..., ayo..., bareng-bareng Sayang... Ibu mau keluar Sayang..., ayo..., ayo.." Rintih Bu Tari dengan mata setengah terpejam dan mulutnya yang terus terbuka mendesah-desah dan kian kuat menggoyang-goyangkan pinggulnya. Akupun terus mengimbanginya sampai tiba-tiba Bu Tari seperti terdiam dan kedua tangannya merangkul leherku kuat-kuat dan dari mulutnya keluar desahan panjang. "Aakkhh..., Oukhh..., Engkhh...", Bersamaan dengan rintih kepuasannya, denyutan dan hisapan vagina Bu Tari makin kuat dan nikmat rasanya. Akupun sudah tak tahan lagi dan ingin agar spermaku segera keluar. Karenanya kunaik-turunkan penisku, kuputar-putar dan kunaik-turunkan terus hingga akhirnya croott..., croott..., crroot. "Akhh..." Bersamaan dengan muncratnya spermaku di vaginanya, kembali Bu Tari mendesah nikmat. Napasku memburu, aku lemas sekali rasanya. Sementara Bu Tari tetap menggoyang-goyangkan pinggulnya dengan pelan dan tangannya mengelus-elus rambutku.

Beberapa saat kubiarkan tubuhku menindih tubuh bugil Bu Tari tanpa tangan atau dengkulku menahan beban badanku. Penisku tetap menancap di vaginanya. Ketika ingin kucabut Bu Tari melarangnya. "Jangan sayang, jangan dicabut dulu, biarkan ibu memiliki dan menikmatinya, peluk..., peluk..., tetap tindihlah Ibu sayang. Ibu puas, Kamu puas sayang hemm?.., nikmat sayang?.." Ucap Bu Tari sambil terus menciumiku.

Malam itu kami habiskan tidur sambil berpelukan di ranjang yang biasa Ibu Tari tidur dan bersetubuh dengan suaminya. Tapi sejak malam itu dan disetiap kesempatan yang ada kusetubuhi pula Bu Tari di ranjang yang sama. Aku tak perlu lagi hanya beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya, begitupula Bu Tari tak perlu lagi hanya sekedar membayangkan bersetubuh denganku jika ia melayani suaminya. Kami baru bersetubuh di hotel jika salah satu dari kami sudah tak tahan lagi sementara kesempatan di rumah tak ada. Atau ketika obsesiku kumat untuk bersetubuh dengan Bu Tari dalam pakaian kebaya, kain jarik dan berkonde. Ini terkadang aneh, berlama-lama Bu Tari ke salon rias, begitu selesai langsung ke Hotel dan kuacak-acak sampai berantakan. (Aneh ya?!).

Sering pula jika keadaan memungkinkan, Bu Tari suka menyelinap ke kamarku untuk "fast sex". Seks cepat dengan tetap masih berpakaian. Tandanya, Bu Tari masuk ke kamarku sudah tanpa celana dalam dan dipuncak nafsu. Ini sering terjadi jika Bu Tari sedang butuh tapi Pak Bagong tak acuh terus tidur.

Tentang vagina Bu Tari, mungkin itu yang disebut vagina empot ayam. Vagina yang tak pernah kutemui pada semua perempuan (adik-adik, Mbak-Mbak, tante-tante dan ibu-ibu rumah tangga yang muda maupun tua) yang pernah kutiduri, sampai hari ini sekalipun diumurku yang 37 tahun.

Bu Lestari 01

Kejadiannya 13 tahun yang lalu, saat aku masih kuliah disebuah kota S di P. Aku mempunyai teman satu angkatan satu jurusan Yon namanya, berasal dari kota W. Kami begitu lengketnya, study, ngobrol, jalan ngalor-ngidul, ngapelin cewek satupun sering bersama. Sampai kecewapun sering bareng-bareng. Yon si anak "bocor" tapi baik hati itu tinggal dirumah tantenya (yang biasa aku panggil Ibu Tari) yang hanya punya anak gadis semata wayang. Itupun begitu lulus S1 Manajemen perusahaan langsung dilibas habis kegadisannya sama pacarnya, dalam suatu perkawinan, terus diboyong ke Jakarta.

Tinggallah Ibu Tari ini bersama suaminya yang pengusaha jasa konstruksi dan trading itu dengan pembantu dan sopir. Kebetulan Yon ini keponakan kesayangan. Wajar saja dia suka besar kepala karena jadi tumpahan sayang Ibu Tari. Sampai suatu saat dia minta tinggal di luar rumah utama yang sebenarnya berlebih kamar, ya si tante nurut saja. Alasan Yon biar kalau pulang larut malam, tidak mengganggu orang rumah karena minta dibukakan pintu.

Ruang yang dia minta dan bangun adalah gudang di sebelah garasi mobil. Dengan selera anak mudanya dia atur interior ruangan itu seenak perutnya. Setengah selesai penataan ruang yang akhirnya jadi kamar yang cukup besar itu, sekali lagi Yon menawarkan diri agar aku mau tinggal bersamanya. Saat itu Ibu Tari, hanya senyum-senyum saja. Seperti dulu-dulupun aku menolaknya. Gengsi sedikitlah, sebab ikut tinggal di rumah Bu Tari berarti semuanya serba gratis, itu artinya hutang budi, dan artinya lagi ketergantungan. Biar aku suka pusing mikirin uang kost bulanan, makan sehari-hari atau nyuci pakaian sendiri, sedikitnya di kamar kostku aku seperti manusia merdeka.

Tapi hari itu, entah karena bujukan mereka, atau karena sayangku juga pada mereka dan sebaliknya sayang mereka padaku selama ini. Akhirnya aku terima juga tawaran itu, dengan perjanjian bahwa aku tidak mau serba gratis. Aku maunya bayar, walaupun uang bayaran kostku itu ibarat ngencingin kolam renang buat Bu Tari yang memang kaya itu. Toh selama ini aku menganggap rumah Bu Tari ini rumah kostku yang kedua, sebelumnya sering juga aku menginap dan nongkrong hampir setiap hari di sini.

Ada satu hal sebenarnya yang ikut juga menghalangiku selama ini menolak tawaran Yon atau Bu Tari untuk tinggal di rumahnya. Entah kenapa aku yang anak muda begini, suka merasakan ada sesuatu yang aneh di dada kalau bertatapan, ngobrol, bercanda, diskusi dan berdekatan dengan Bu Tari. Perempuan yang selayaknya jadi tante atau bahkan ibuku itu. Buatku Ibu Tari bukan hanya sosok perempuan cantik atau sedikitnya orang yang melihatnya akan menilai bahwa semasa gadisnya Bu Tari adalah perempuan yang luar biasa. Bukan hanya sekedar bahwa sampai setua itu Ibu Tari masih punya bentuk tubuh yang meliuk-liuk. Senyumnya, dada, pinggang, sampai ke pinggulnya suka membuatku susah tidur dan baru lega jika aku beronani membayangkan bersetubuh dengannya. Jika aku beronani tidak cukup kalau cuma keluar sekali saja.

Gejala apa ini, apakah wajar aku terobsesi sosok perempuan yang tidak hanya sekedar cantik, tapi berintelegensi bagus, penuh kasih dan nature. Buatku secantik apapun perempuan jika tidak punya tiga unsur itu, hambar dalam selera dan pandanganku. Seperti sebuah buku kartun yang tolol dan tidak lucu saja layaknya. Malangnya Ibu Tari memiliki semua itu, dan lebih malangnya lagi aku. Di bawah sadar sering aku diremas-remas iri dan cemburu jika melihat Ibu Tari berbincang mesra atau melayani Pak Bagong, suaminya. Begitu telaten dan indah. Gila!

Selama aku tinggal di rumah Bu Tari itu, pada awalnya semua biasa saja. Perhatian dan sayang Bu Tari kurasakan tak ada bedanya terhadapku dan Yon. Kupikir semua ini naluri keibuannya saja. Tetapi semua itu berjalan hanya sampai kurang lebih 4 bulan.

Di suatu malam dari balik jendela kamarku kulihat beberapa kali Ibu Tari keluar masuk rumah dengan gelisah menunggu Pak Bagong yang sampai jam 22.00 belum pulang. Sebentar dia kedalam sebentar keluar lagi, duduk dikursi, memandang kejalan dengan muka gelisah, membalik-balik majalah lalu masuk lagi. Keluar lagi. Kuperhatikan belakangan ini Ibu Tari begitu murung. Ada masalah yang dia sembunyikan. Senyumnya sering kali getir dan terpaksa.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk pipis. Buku Nick Carter yang sejak tadi membuat penisku tegang kugeletakkan dimeja. Tapi begitu aku kembali ternyata Bu Tari sudah duduk di kursi panjang di kamarku memegang buku itu. Aku hanya meringis ketika Bu Tari meledekku membaca buku Nick Charter yang pas dicerita ah.,eh.,oh kertasnya aku tekuk. Sesaat setelah kami kehabisan bahan bicara, muka Bu Tari kembali mendung lagi. Dia berdiri, berjalan ke sana sini dengan pelan tanpa suara merapikan apa saja yang dilihatnya berantakan. Sprei tempat tidur, buku-buku, koran, majalah, pakaian kotor dan asbak rokok. Ya maklum kamar bujanganlah. Aku pindah duduk dikursi panjang lantas mematung memperhatikannya. Seperti tanpa kedip. Semua yang dilakukannya adalah keindahan seorang perempuan, seorang ibu.

Setelah selesai, sejenak Bu Tari hanya berdiri, melihat jam didinding lalu menatapku dengan mata yang kosong. Aku coba untuk tersenyum sehangat mungkin. Bu Tari duduk di sampingku. Mukanya yang tetap murung akhirnya membuatku berani bicara mengomentari sikapnya belakangan ini dan bertanya kenapa? Bu Tari tersenyum hambar, menggeleng-gelengkan kepala, diam, menunduk, menarik napas dalam dan melepasnya dengan halus. Sunyi. Seperti ingin to the point saja, Bu Tari menceritakan masalah dengan suaminya.

Seperti kampung yang diserbu provokator dan perusuh saja, otakku tercabik-cabik, terbuka. Hubungan Bu Tari dengan suaminya selama ini ternyata semuanya penuh kepura-puraan. Kemesraan mereka semu tak bernurani, bagai sebuah ruangan setengah kosong, dan setengahnya lagi sekedar keterpaksaan pelaksanaan kewajiban saja. Bu Tari berada di dalamnya. Suaminya tahu tapi seperti sengaja membiarkannya memikir, menghadapi dan menyelesaikannya sendiri. Menerima keadaan.

Entah karena kesepian, butuh orang sebagai tumpahan hatinya yang kesal dan rasa disia-siakan. Bu Tari menceritakan bahwa Pak Bagong sudah lama mempunyai istri simpanan di sebuah perumahan menengah pinggir kota. Tak pernah hal ini dia ceritakan kepada siapapun juga kepada anaknya sendiri Mbak Clara di Jakarta. Sama dengan kebanyakan istri-istri pejabat yang walaupun tahu suaminya punya simpanan perempuan, Bu Tari hanya bisa menahan hati. Konon katanya, justru sebenarnya banyak istri pejabat yang malah mencarikan perempuan khusus untuk dijadiakn simpanan suaminya sendiri, demi keamanan, "nama baik" dan jabatan. Biar si suami tidak asal hantam dan makan sembarang wanita. Toh, Istri tahu atau tidak, terima atau tidak, si suaminya dengan jabatan, uang dan kelelakiannya dapat melakukan apa saja pada perempuan-perempuan yang mau. Semua itu seperti permaisuri yang mencarikan selir untuk suaminya sendiri.

"Dia ingin punya anak laki-laki Win (Win nama palsu saya)" Begitu ucap Bu Tari malam itu. Matanya mulai berkaca-kaca. Dulu Bu Tari memang suka bercerita betapa inginnya dia punya anak laki-laki yang banyak. Dia suka menyesali diri kenapa Tuhan hanya memberinya satu anak saja.
"Apakah itu alasan yang wajar Win" Ucapnya lagi.
Kedua tangannya memegang tangan kananku dan matanya yang memelas lurus menatapku. Seolah meminta dukungan bahwa kelakuan Pak Bagong salah. Aku bingung. Mau ngomong apa, seribu kata aduk-adukan diotak hingga aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.

Diluar dugaanku, tangis Bu Tari malah meledak tertahan. Dia jatuhkan mukanya ke pundak kiriku. Aku bingung, tapi naluri lelakiku berkata dia teraniaya dan butuh perlindungan, hingga akhirnya tanganku begitu saja merengkuhnya. Bu Tari malah membenamkan wajahnya ke dadaku. Aku elus-elus punggungnya dan dengan pipiku kugesek-gesek rambutnya agar dia tenang. Kucium wangi parfum dari tubuh dan rambutnya.

Sesaat rasanya, sampai akhirnya Bu Tari menarik mukanya dan memandangiku dengan senyumnya yang gusar. Aku ikut tersenyum. Ada malu, ada rasa bersalah, ada pertanyaan ada kehausan di mata Bu Tari, dan ada yang menyesakan dadanya. Entah rasa sayang atau sekedar untuk menetralisir hatinya, aku usap air matanya dengan jariku. Bu Tari hanya diam setengah bengong menatapku. Hening. Sepi.

"Ibu bahagia sekali win kamu mau tinggal disini. Entah bagaimana rasanya rumah ini kalau tak ada kamu dan Yon. Sepi. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Mungkin ibu bisa mati sedih dirumah sebesar ini" Ucap Bu Tari pelan tertunduk murung.
"Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang?" Ucapku.
"Untuk apa?" Ucap Bu Tari menggeleng-geleng.
"Setidaknya beban Ibu dapat berkurang".
"Buat Ibu cukup melihat Kamu dan Yon ceria dan bahagia di rumah ini. Kalianlah yang justru membuat Ibu betah di rumah. Untuk apa Ibu harus mengurangi semua itu dengan masalah Ibu. Ibu sayang pada kalian". Ucap Bu Tari sambil memegang jari tanganku. Aku membalasnya dengan meremas jari jemarinya pelan.
"Kamu sayang pada Ibu kan Win? Tanya Bu Tari menatapku.
Aku menggangguk tersenyum. Bu Tari tersenyum bahagia. Lalu entah kenapa aku nekat begitu saja mendekatkan mukaku, mencium kening dan pipinya dengan lembut. Kulihat wajah Bu Tari yang surprise tapi diam saja.
"Bu Tari marah?" tanyaku.
Dia menggeleng-geleng dan malah balas menciumku, menyenderkan kepalanya miring di pundakku dan melingkarkan tangan kanannya di pinggangku. Kupeluk dia. Lama sekali rasanya kami saling berdiam diri. Tapi aku merasakan kedamaian yang luar biasa. Sampai akhirnya suara motor Yon yang katanya habis diskusi di kelompok studinya tiba dan suara pintu gerbang terbuka.

Sejak kejadian malam itu hubunganku dengan Bu Tari jadi kian aneh. Mungkin awalnya hanya sekedar memperlihatkan rasa sayang dan cinta layaknya seorang anak pada ibunya dan sebaliknya. Walau dengan diam-diam disetiap kesempatan yang ada kami saling tidak menyembunyikan semua itu. Bertatapan dengan mesra, bercanda dan saling memperhatikan lebih dari dulu-dulu.

Tapi seperti air yang tak diatur, semua mengalir begitu saja. Kian lama Bu Tari dan aku berani saling mencium. Cium sayang dan lembut disetiap kesempatan yang ada tanpa seisi rumah tahu Tapi kegalauan dihatiku tetap saja tak dapat kuingkari. Sering aku bertanya sendiri sayangku, cintaku, ciumanku dan pelukanku pada Bu Tari apakah manifestasi seorang anak pada sosok ibunya, atau seorang lelaki pada seorang perempuan. Hati dan otakku setiap hari dililit pertanyaan sialan itu. Begitu menjengkelkan.

Semua itu berjalan sampai tak dapat kuingkari bahwa birahi selalu mengikutiku jika aku berdekatan dan mencium Bu Tari. Selama ini aku berusaha menekannya. Tapi itu meledak di suatu sore yang sepi.

Semula aku hanya ingin meminjam koran yang biasanya tergeletak di ruang keluarga rumah utama. Tapi saat kulihat Bu Tari tengah berdiri menikmati ikan-ikan hias aquariumnya. Tiba-tiba aku ingin menggodanya. Aku berjingkat perlahan dan menutup kedua matanya dengan tanganku dari belakang. Ibu Tari kaget berusaha melepaskan tanganku. Aku menahan tawa tetap menutup matanya. Tapi akhirnya Bu Tari mengenaliku juga. Kukendorkan tanganku.
"Wiinn kamu bikin kaget ibu saja akh.." Ucap Bu Tari tetap membelakangiku dan menarik kedua tanganku ke depan dadanya. Bu Tari bersandar di dadaku. Kedua tanganku tepat mengenai payudaranya yang kurasakan empuk itu. Gelora aneh mengalir di darahku. Sementara Bu Tari terus mengomentari ikan-ikan di dalam aquarium, aku justru memperhatikan bulu-bulu lembut di leher jenjangnya Rambutnya yang lurus sebahu saat itu tertarik ke atas dan terjepit jepitan rambut, hingga leher bagus itu dapat kunikmati utuh. Aku berdesir. Kurasakan napasku mulai berat. Dengan bibirku akhirnya kukecup leher itu. Bu Tari merintih kegelian dan mencubit lenganku dengan genit.
"Hii. Jangan Wiinn akhh..., Merinding Ibu ah"

Dekapan tanganku di payudara dan dadanya makin kuat. Ketika kuperhatikan dia tidak marah dan tenang maka kuulangi lagi kecupan itu berulang-ulang. Kumis dan bekas cukuran di janggutku membuatnya geli. Tapi kurasakan tangan Bu Tari perlahan mencengkram erat di kedua jariku dan dia diam saja. Aku makin bernafsu. Ciuman, kecupan dan hisapan bibirku makin menjadi-jadi ke leher dan telinganya. Bu Tari mendesah memejamkan mata. Kepalanya bergerak-gerak mengikuti cumbuanku. Matanya terpejam dan napasnya menggelora. Kucari bibirnya, karena susah maka kuputar tubuhnya menghadapku dan langsung kusambar dengan bibirku. Kupeluk erat Bu Tari. Dia menggeliat membalas permainan bibirku. Kedua tangannya memegangi bagian belakang kepalaku seolah takut aku melepaskan ciuman bibirku. Kuremas-remas payudaranya dengan tangan kananku. Bu Tari melepaskan ciumannya lalu merintih-rintih dengan kepala terdongak ke belakang seolah memberikan lehernya untukku. Dengan bibirku langsung kuciumi leher itu. Tapi tiba-tiba Bu Tari setengah menghentakan badanku seperti tengah bangun dari mimpi dan shock dia berkata, "Ya Tuhan, Wiinn..., apa yang kita lakukan?"

Bu Tari menjauhiku dan menempelkan kepalanya ke dinding menahan hati. Akupun bisu. Hening. lama sekali. Aku kian gelisah. Aku ingin keadaan itu berakhir. Aku dekati Bu Tari, memeluknya lagi. Kata-kata cinta meluncur begitu saja dari mulutku. Semua itu membuat Bu Tari bingung. Menggeleng-gelengkan kepalanya dan berlari masuk ke kamar menahan tangis.

Beberapa hari sejak kejadian itu Bu Tari tidak menyapaku. Dia selalu berusaha menghindariku. Aku bingung, aku takut dia marah. Aku takut dia menolak cintaku. Aku takut gila, mencintai ibu kost sendiri, istri orang dan perempuan yang jauh lebih tua dariku. Ditolak pula. Aku mulai murung. Tapi itu hanya lebih kurang dua minggu. Hanya sampai pada suatu malam, bulan jatuh dipelukanku saat Bu Tari lembut menyapaku dan tanpa bicara sepatah katapun menciumiku. Sejak dulu juga, jika dibalik ke"nature"annya sesekali kulihat kerling genitnya, adalah bukti bahwa sebenarnya sudah lama aku tak bertepuk sebelah tangan. Tapi Bu Tari takut bicara tentang cinta, bahwa dia sayang, merindukan dan membutuhkanku.

Selanjutnya kami selalu berusaha bersikap wajar di depan seisi rumah maupun tetangga. Satu hal yang pasti bahwa kami bisa dengan bebas saling bercerita tentang apa saja. Termasuk kebiasaanku beronani dengan membayangkan bersetubuh dengannya yang membuatnya tertawa terpingkal-pingkal. Sebaliknya dari Bu Tari aku tahu, bahwa suaminya Pak Bagong itu aneh, di ranjang bertempur tidak pernah menang tapi malah punya simpanan. Untuk mencapai orgasme jika bersetubuh dengan suaminya dia sering membayangkan bersetubuh denganku. Gila.


Bersambung ke bagian 02

Salah Sambung

Untuk menyelesaikan tugas kuliah, aku harus meminjam buku dari teman. Tapi, sayang bukunya sedang dipinjam oleh teman ceweknya. Dia menyarankan untuk menelepon temannya, siapa tahu sudah selesai. Dia lalu memberi nomor telepon, kucatat dan langsung aku menelponnya.

telepon diangkat, suara cewek menyapa dari seberang sana. Waktu kutanya nama teman tersebut, dijawab tidak ada. Rupanya salah sambung. Entah temanku yang salah memberi nomor, atau aku yang salah catat. Yang pasti, karena aku merasa cewek penerima telepon itu tidak mau terburu-buru memutuskan hubungan, aku juga tidak langsung menutup telepon. Pendek kata, terjadilah perkenalan dan dialog yang cukup panjang. Aku jadi tahu dia tinggal di daerah Lebak Bulus bersama pembantu, adik perempuan dan anak ceweknya. Erni, begitu namanya, berumur 36 tahun, dan sudah lama menjanda.

Telepon salah sambung itu berlanjut dengan pertemuan. Sebab, Erni bilang lebih nikmat kalau kita ngobrol langsung, jadi dia memintaku datang ke rumahnya, saat itu juga. Tidak peduli dengan tugas kuliah, buru-buru aku tancap gas ke Lebak Bulus. Sampai di sana Erni sudah menyambutku, cuma memakai daster, seperti yang tadi dia bilang di telepon.

Setelah berkenalan, Erni mengajakku masuk ke ruang tamu. Dia bertanya, aku mau minum apa?, Seperti biasa, aku minta kopi. Sambil menunggu Erni membuat kopi, aku memperhatikan suasana rumah. Di ruang tengah yang bersebelahan dengan ruang tamu cuma ada pembantunya sedang asyik nonton TV bersama adik perempuannya.

Tidak lama Erni keluar membawa secangkir kopi panas. Waktu meletakkan cangkir kopi di meja, badannya membungkuk, dan karena dia tidak memakai BH, tanpa tedeng aling-aling aku menyaksikan dua gunung putih indah tergantung di dadanya, seperti mau jatuh ke lantai. Tapi tidak lama, karena dia segera berdiri dan langsung duduk. Kami lalu ngobrol akrab meneruskan omongan di telepon tadi. Di tengah pembicaraan, aku memintanya untuk mengambilkan segelas air putih karena leherku terasa kering. Mungkin karena selama ngobrol aku terus-terusan membayangkan payudaranya yang indah. Apalagi, pembicaraan mulai mengarah kesana.

Sekali lagi, waktu meletakkan gelas di meja, aku menyaksikan keindahan "buah menggelantung" di dadanya. Kali ini aku tidak tahan lagi.
"Sebenernya sih sekarang yang paling nikmat minum susu, tapi adanya cuma air putih...", kataku.
Dia langsung sadar apa yang terjadi. Refleks tangannya menutupi dasternya. Sambil senyum dia berkata, "Susunya ada, tapi cuma buat Ingrid (nama anaknya)..."
Aku makin berani, "Kalo gitu, aku mau pinjem sama Ingrid, pasti diberi, Mana dia?"

Rupanya si gadis cilik sudah tidur. Aku makin nekat dan memaksa, "Tolong bangunin deh, aku ngomong sebentar mau pinjem botol susunya, nanti dia juga tidur lagi..."
Erni tertawa, tapi tampaknya tahu kalau aku sudah bernafsu kepadanya. Tidak lama kemudian, dia pindah duduk ke sampingku.
Lalu bicara pelan seperti berbisik, "Beneran mau pinjem sama Ingrid?".
Aku menggangguk dan langsung berdiri. Dia juga berdiri dan mengajakku masuk. Di ruang tengah cuma ada adik perempuannya sendirian asyik nonton TV sambil tiduran di karpet. Pembantunya rupanya sudah tidur duluan.

Erna, begitu nama adik Erni, sudah menikah, belum mempunyai anak, tapi sedang pisah ranjang dengan suaminya. Dia lebih cantik dan seksi dibanding Erni. Apalagi dengan busananya malam itu, singlet tipis tanpa BH memperlihatkan putingnya dan short super pendek yang memamerkan keputihan, kemulusan, dan kepadatan pahanya. Erna tidak kelihatan risih, atau berusaha menutupi bagian tubuhnya yang terbuka, waktu diperkenalkan kepadaku.

Erni kemudian menarik lenganku untuk mengikutinya sambil bicara kepada Erna, "Pintunya jangan lupa dikunci ya...". Yang menakjubkan, Erni bukannya mengajakku ke kamar Ingrid, anaknya, tapi malah masuk ke kamarnya yang agak berantakan. Sebuah ranjang ukuran king size seperti menanti kedatangan kita. Tanpa basa-basi lagi, aku cium Erni. aku jilatin kuping dan lehernya. Sementara tanganku memeluk pantatnya keras-keras sambil ngeremas-remas. Tanganku yang satu lagi langsung menelusup ke balik dasternya untuk meremas-remas payudaranya. Erni tertawa kecil melihatku sudah begitu bernafsu. Dia segera mencopot daster dan CD-nya, lalu membantuku melepaskan pakaian.

Setelah sama-sama polos, dia menarikku ke atas ranjang. Tanpa memberi kesempatan sedikit juga, dia langsung menindihku. Dengan gerakan yang sangat agresif dan berpengalaman dia mencium habis bibirku, menjilati badanku, sementara liang kewanitaannya digesek-gesek naik-turun di atas penisku. Asyik benar. Apalagi jilatannya benar-benar yahud. Dari leher, dada, terus turun sampai ke selangkangan. Bijiku dijilatin, terus ditelen dan disedotnya dengan lembutnya. Lubang pantatku juga dijilatin habis. Dan tentu saja, penisku jadi santapan utamanya. Mula-mula dijilatin bagian bawahnya, terutama pada lipatan di bawah kepala penis. Setelah itu dia masukkan penisku ke dalam mulutnya, mula-mula cuma kepalanya, batangnya, terus dimasukkan lagi sampai mentok di kerongkongannya. Lalu dia kulumnya penisku seperti anak kecil makan es lilin.

Diservis begitu rupa, aku tidak cuma tinggal diam. Tanganku gerayangan ke sana kemari, melakukan serangan balik. Mula-mula cuma mengelus-elus punggung dan pahanya. Terus ngeremas-remas payudaranya. Pindah lagi ke liang kewanitaannya. Sampai-sampai dia yang awalnya seperti 'mau menang sendiri' menjadi pasrah, membiarkan posisi badannya kuputar. Sambil terus menjilati dan menyedot penisku, kaki Erni sekarang seperti menjepit kepalaku. Berarti, kemaluannya yang berbulu agak jarang tapi kelihatan sangat tebal itu menantang di depan mataku. Tanpa buang-buang waktu, kujilat lubang kenikmatan itu. Dan itulah rupanya titik terakhir pertahanan Erni.

Belum terlalu lama aku melahap bibir kewanitaannya, Erni tiba-tiba berubah menjadi seperti kuda liar nan ganas. Dengan penuh birahi dia memberikan kenikmatan seks yang luar biasa. Dia begitu ganas memberi rangsangan di sekujur badanku. Dia juga begitu agresif menancapkan lubang senggamanya ke penisku. Dan dia sungguh liar ketika menggoyang-goyangkan pantatnya turun-naik, diputar ke kiri ke kanan, turun-naik..., penisku terasa dikucek-dikucek, dibilas dan diperas--seperti (mungkin) kalau dimasukkan ke dalam lubang mesin cuci.

Permainan seks yang betul-betul heboh itu berakhir dengan semprotan spermaku di dalam mulut Erni. Setelah istirahat sebentar, ronde kedua dimulai. Kali ini berlangsung jauh lebih liar lagi, sampai badanku dan dia penuh bekas gigitan dan cakaran. Setelah ronde kedua berakhir, Erni keluar kamar dan masuk lagi diikuti Erna adiknya yang rupanya sudah ketiduran di depan TV. Dengan wajah tidak peduli, seperti tidak ada sesuatu yang luar biasa, Erna merebahkan diri di atas ranjang, persis di sampingku yang masih bugil dan salah tingkah karena tidak tahu mesti berbuat apa. Erna cuma tersenyum melihatku, kemudian membalikkan badan sambil memeluk guling yang dibawanya, dan meneruskan tidurnya.

Terus terang, diam-diam, aku sebenarnya pingin benar menyetubuhi Erna. Tapi bagaimana dengan Erni yang tanpa sepotong benang di badannya mendekatiku, langsung menindih, memeluk dan mencium leherku?

Break, Break.., Tante pun Didapat

Sejak berada dibangku SLTA, saya mempunyai hoby merakit alat-alat elektronika, yang salah satunya adalah alat komunikasi Handheld Transceiver (HT). Setelah rampung merakit dan berhasil untuk digunakan berkomunikasi kini hari-hariku terisi dengan membuang kejenuhan melalui alat komunikasi tersebut. Sampai suatu saat ditengah malam, saya ngebrik dengan seorang wanita di channel khusus yang hanya dapat kami pergunakan berdua alias "mojok" dengan fasilitas symplex duplex. Asyik memang sehingga tak terasa sudah larut malam.
"Mah..., udah larut malam nich, masak hanya ngobrol terus tanpa tindakan?", tanyaku agak manja.
"Emang Papa mau ngapain, kita khan cuma bisa berbicara aja", balasnya di seberang sana.
"Engg maksud Papa..., ehm ssth", suaraku sengaja mendesah merayu.
"Ach Papa, dadamu menggairahkan emm apalagi pen.., auh besarnya".
"Emmh mah, buah dadamu montok, bersih dan itu..., putingnya merah jambu..., Papa ingin mengulumnya mah".
"Ini pah silakan..., ahh..., aih..., terus pah auh...".
Demikian hangatnya komunikasi ini sampai tak terasa celana dalamku basah oleh lendir kental seperti susu milk.
"Mah saya udah keluar nich, Mama udah belum?, tanyaku.
"Mamah belum apa-apa tuh pah", jawabnya.
"Gimana pah kalau besok kita KOPDA (Kopi Darat)".
"Oke dech mah, tapi dimana?
"Emm di Matahari Plasa lantai IV, tepatnya di Rumah Makan Dandaman, aku disana pakai T-shirt hitam dan celana Jeans Biru. Cari aku disana yah...".
"Oke deh,... Lalu jam berapa?".
"Ya..., jam 10 pagi, bisa nggak?
"Pasti bisa deh..., oke sampai ketemu besok ya..., daah cup ah cheerio mam."
"Cup ah juga pah sampai besok..., cerio".

Akhirnya di pagi hari yang cerah, pagi-pagi sekali saya sudah mandi dan berpakaian rapi. Dengan menggunakan Jeep Willys bak terbuka Saya meluncur ke Matahari Plasa langsung menuju ke lantai IV. Disana saya berjalan-jalan sambil melihat-lihat ke rumah makan Dandaman dan mencari wanita berpakaian seperti apa yang dia katakan. Beberapa lama di sana, di sudut ruangan mataku terbelalak melihat sosok wanita dengan ciri-ciri yang kucari. Ternyata tubuhnya seksi dan dandanannya menunjukkan bahwa dia bukan orang sembarangan. Karena apa yang saya cari sudah ketemu dan ternyata tidak mengecewakan, maka saya langsung menghampirinya.
"Selamat pagi tante", sapaku dengan senyum ramah.
"Selamat pagi juga". jawabnya tak kalah ramahnya.
"Kenalkan nama saya Andy, tante".
"Emh nama tante Santy, Silakan duduk Ndik".
"Terima kasih tante", sambil saya mengambil tempat duduk di depannya.
"Jangan lagi panggil tante ah, panggil saja Santy. Oke?".
"Ya deh", jawabku sambil mengangguk.
Singkat cerita kami berdua ngobrol tentang kami berdua, eh ternyata memang dia bukan orang sembarangan. Dia istri pengusaha terkenal di Semarang.
"Kamu masih kuliah Ndik?
"Masih San, tapi mungkin semester ini saya ambil cuti".
"Lho kenapa?", tanya Santy.
"Yah biasa masalah biaya. Saya harus menanggung buaya hidup dan kuliahku dengan usaha sendiri. Sementara ini bisnis yang saya jalankan lagi sepi San, Jadi yah cuti dulu nggak apa-apa lah", komentarku menerangkan.
"Andhik", kata Santy sambil bergerak mendekatiku. "Ngapain harus cuti segala, emang kamu nggak punya siapa-siapa untuk dimintai bantuan?".
"Emm nggak punya San, habis semua saudaraku berada jauh dari Semarang".
"Lalu kau anggap aku ini siapa? Tanya Santy mengejutkan. "Kamu butuh uang berapa?" lanjutnya.
Saya jadi gelagapan diberondong pertanyaan oleh Santy."Em..., anu..., ehg".
"Kamu nggak usah gugup Ndik, ngomong aja kamu butuh uang berapa".
Akhirnya saya ngaku juga "Anu San dua juta".
Setelah saya ngomong begitu, Santy langsung membuka tas kecilnya dan brak..., uang dua juta sudah di atas meja di depanku.
"San..., engh"
"Ala..., nggak usah basa-basi, ambil saja Ndik"' Kata Santy tahu apa yang sedang saya pikirkan. Lalu gimana saya harus mengembalikannya San. Nanti gampanglah sekarang ayo habiskan makannya.

Setelah makanan di depan meja habis kusantap, Santy langsung membayarnya dan kami beranjak pergi.
"Kita mau kemana San", tanyaku.
"Kamu naik apa Ndik?" tanya Santy.
"Itu naik gerobak antik", kataku sambil menunjuk mobilku.
"Eng kalau begitu, kita naik mobilku saja", kata Santy. "Sementara biar mobilmu disini dulu, Oke?".
"Oke",kataku sambil naik ke mobil Santy.
Dalam pikiranku pasti Santy akan mengajakku ke hotel dan..., ternyata mampir dulu ke rumahnya. Dirumah mewah itu hanya ada perkakas Lux dan Interior yang sangat indah. Halaman luas dengan taman yang indah juga.
"San..., kenapa rumah kamu sepi?".
"Iya memang hanya ada aku dan suamiku yang sering dinas keluar kota. Maklum sibuk dengan bisnisnya".

Akhirnya di ruang tamu kami ngobrol sambil nonton VCD yang telah di on kan oleh Santy. Sebuah CD karaoke dengan background seorang artis yang sensual dengan memamerkan tubuhnya yang menggiurkan. Tangan Santy tidak terasa meraba-raba tangan dan tubuhku. Kulirik buah dadanya yang menyembul ingin keluar dari kaos "you can see" nya. Tanpa ragu saya juga membalas gerakan-gerakan Santy. Semakin dalam semakin asyik saja dan tidak terasa saya dan Santy telah telanjang bulat di sofa ruang tamu."Engh..., ah..., Ndik", jerit Santy saat kujilati liang kewanitaannya sambil kuremas putingnya.
"Terus Ndik..., augh..., nikmatnya augh..., Ndik aku nggak kuat".
Langsung saja penisku, saya masukkan ke liang senggamanya dan kali ini jeritan Santy semakin keras "Augh..., Andhik..., gila kamu..., terus Ndik...". Dan akhirnya cret..., creett... saya puas dan Santy pun demikian.

Akhirnya pengalaman ini terbawa hingga saya tamat kuliah dengan biaya seluruhnya ditanggung oleh Santy. Kini saya sudah punya rumah, mobil, hand phone dan pekerjaan yang semua berasal dari Santy. Kini Santy telah tiada karena sakit jantung.
Mohon maaf Santy, semoga Tuhan mengampuni dosa kita berdua.

Akibat Nonton Film Biru

Saya punya pengalaman menarik bersama seorang ibu rumah tangga yang sepertinya baru pertama kali nonton blue film. Awalnya ketika saya sehabis pulang menyewa laser disk, saya disapa oleh dia, dan dia bertanya apa yang saya bawa. Saya jawab saya baru saja nyewa film dan dia bertanya pada saya mengenai film tersebut. Saya jawab saja blue film. Dia pertamanya mencela saya nyewa kok film begituan, saya sama dia memang sudah akrab banget makanya saya berani bercandain dia, lalu saya ajak dia nonton. Tidak disangka dia mau, katanya sih dia belum pernah nonton film begituan. Saya mengira-ngira dia berumur 26 tahunan, masa sih belum pernah nonton film BF. Pendek cerita nih..., saya bersama dia sedang nonton blue film yang baru saya sewa.

Selama nonton, kami hanya diam dan serius. Setelah beberapa saat, saya melepas kesepian dengan nanya dia, apakah selama kawin dengan suaminya dia pernah melakukan anal seks. Dia bilang tidak pernah meskipun dengan malu-malu. Saya bilang anal seks itu nikmat, masa belum mencobanya? dia bilang orang-orang Indonesia tidak biasa melakukan anal seks. Saya bilang ah tidak juga, saya bilang cewek-cewek yang pernah saya setubuhi pertama-tama saya ciumi dulu liang kewanitaannya, jelas saya tanpa aling-aling. Dia kaget banget mendengar penjelasanku dan dia tidak percaya. Saya bilang sama dia apakah dia mau? kalau mau bisa saya laksanain sekarang. Saya hampiri dia, tanpa ragu saya langsung pegang pahanya dan saya berusaha membuka kedua pahanya. Dia meronta-ronta dan bilang sama saya jangan ahh... dia sekuat tenaga berusaha menutup pahanya. Saya duduk di depannya yang duduk di kursi sedang saya duduk di lantai. Saya bilang tidak usah malu-malu, sambil tanganku masuk ke dalam roknya. Saya elus-elus pahanya yang mulus banget, tanganku masuk dalam banget ke dalam roknya. Saya berusaha menelusupkan tanganku di antara kedua belah pahanya, berhasil juga. Terus saya mencari belahan memeknya. Terasa oleh tanganku CD nilonnya, ternyata sudah basah.

Saya usap-usap belahan memeknya walaupun masih dibungkus CD. Saya lihat reaksinya, ternyata rapatan pahanya melonggar, saya terusin gosok-gosok belahan kemaluannya. Kadang-kadang dia malah merapatkan pahanya erat-erat tapi kadang-kadang melonggar. Lama juga sih, akhirnya saya buka pahanya lebar-lebar sehingga CD-nya kelihatan. Tangan saya masukin ke dalam CD nilonnya, liang kewanitaannya yang hangat saya elus-elus, saya sentuh clitorisnya. Kemudian ku tarik CD-nya hingga lepas, saya lihat belahan memeknya yang sangat indah berwarna coklat kemerah-merahan. Tanganku sedikit menekan terus menggosok-gosok liang kewanitaannya. Jari tanganku menyibakkan bibir kemaluannya, saya lihat lubang kemaluannya. Saya jadi tidak tahan, maka kulumat liang kewanitaannya dengan lidah dan bibirku. Kepalaku tenggelam dalam selangkangannya. Saya sentuh-sentuh clitorisnya dengan lidahku. Terasa oleh lidahku liang kewanitaannya ternyata menghasilkan cairan yang rasanya nikmat sekali. Saya lihat mukanya sedang merem-melek merasakan liang kewanitaannya yang sedang di 'makan' saya.

Kemudian saya lepas celana dan CD-ku, penisku yang sudah sangat tegang ingin sekali masuk pada lubang kemaluannya. Saya kini mengatur posisi di depan dia, saya berdiri di atas lututku. Saya arahkan penisku tepat di lubang memeknya. Saya tekan dan sedikit demi sedikit melesak masuk ke dalamnya. Liang kewanitaannya masih terasa sempit sehingga pergerakan naik-turunku awalnya lambat tetapi sekitar lima menit kemudian ku percepat pergerakanku. tidak tahu kenapa, saya merasa sangat bernafsu menyetubuhinya, makanya saya terus percepat gerakanku. Penisku rasanya bertambah besar, ku lihat ketika penisku masuk ke liang senggamanya kelihatan kempot ke dalam tapi kalau saya sedang menarik penisku keluar, maka kulihat liang kewanitaannya seakan-akan mau ikut keluar. Sekitar lima belas menit kemudian saya merasa mau keluar makanya saya terusin genjotanku. Saya tahu dia sudah beberapa kali keluar, tangannya ada di pantatku, sedangkan tanganku ada pada pinggulnya. Saya tidak tahan lagi, maka saya keluar di dalam. Sperma yang saya keluarkan banyak sekali, terbukti ketika saya cabut penisku dari dalam liang senggamanya mengalir spermaku bercampur lendir birahinya.

Dia hanya tersenyum saja, waktu ku tanya gimana rasanya. Dia berbisik mau lagi. Saya bilang kalau mau lagi lebih baik pindah ke kamarku. Dia mau dan saya setubuhi beberapa kali lagi, malahan dia lebih agresif lagi, dia mau mengisap penisku. Sekitar empat jam kami bertempur habis-habisan. Saya rasanya sangat loyo, tapi dia masih saja segar. Kalau tidak takut suaminya balik, mungkin seharian saya harus setubuhi dia.

Burung Mudaku

Sebut saja namaku Haryani, saat menikah aku tidak tahu kalau ternyata suamiku masih berstatus suami sah orang lain, namun belakangan kuketahui nasi sudah menjadi bubur. Pada akhirnya dia pun mengakui kalau sudah punya anak isteri, namun apalah artinya aku yang lemah dan bodoh ini jika harus bersikeras untuk menuntutnya. Kendatipun aku tahu akan sangat menyakiti isteri sahnya, jika ia mengetahui. Suamiku adalah seorang perwira yang mempunyai kedudukan penting di sebuah propinsi (tidak kusebut tempatnya). Usianya sudah mencapai 55 tahun dan aku sendiri baru mencapai 27 tahun. Fasilitas yang diberikan dan ketakutanku lah yang membuatku sangat tak berdaya untuk menentang keberadaanku. Aku dibelikan sebuah villa yang sangat mewah yang terletak tidak begitu jauh dari kota tempat suamiku bertugas. Semua fasilitas yang diberikan kepadaku sangatlah mewah bagiku, aku mendapatkan sebuah mobil pribadi, telepon genggam dan perangkat entertainment di rumah. Namun ini semua ternyata masih kurang, aku ingin punya momongan, aku ingin dicintai dan disayangi. Kenyataannya aku hanya tempat persinggahan saja. Belakangan kudengar bahwa suamiku juga punya WIL lain selain aku, malahan kadang ia juga jajan kalau sedang keluar kota, kabar ini kudapatkan dari isteri ajudannya sambil wanti-wanti agar aku tutup mulut. Aku sendiri memang sudah kenal dekat dengan keluarga ajudan suamiku, namun demikian sampai saat ini rahasia ini masih tersimpan cukup rapi. Bagaimanapun juga aku kesal dan sedih dengan kondisi seperti ini, sehingga timbul niatku untuk berperilaku serupa.

Pada suatu hari suamiku bertindak ceroboh dengan menitipkan anak bungsunya kepadaku, beliau memperkenalkanku sebagai ipar ajudannya. Anak itu memanggilku Mbak maklum dia masih SMP dan usinya pun masih 14 tahun. Wajahnya, perilakunya persis bapaknya, nilai kesopanannya agak kurang bila dibanding dengan anak-anak di kampungku. Maklumlah ia adalah anak pejabat tinggi. Jam 21.00 bapaknya telepon, meminta Alex (sebut saja nama anak itu begitu) untuk tidur di rumah karena bapak ada urusan. Aku jadi curiga pasti dia ada kencan dengan orang lain. Alex pun belum tidur, ia lagi asyik nonton televisi di ruang keluarga. Akhirnya timbul niat burukku untuk memperdaya Alex, namun bagaimana caranya? aku dihadapkan pada jalan buntu. Akhirnya spontan kumasukkan VCD-VCD porno ke dalam player untuk saya hidangkan kepada Alex. Aku hidupkan oven selama 3 menit yang kebetulan isinya adalah daging yang sudah masak sejak siang tadi. Langsung saja kurayu dia untuk menyantapnya sehingga kami pun menyantap daging panggang dan sambal kecap bersama-sama. Sambil basa-basi kutanyakan sekolahnya, tampaknya kemampuannya di sekolah biasa-biasa saja, terbukti dengan kekurang antusiasannnya bicara tentang sekolah. Ia lebih suka bicara tentang video game dan balap motor.

Kupegang tengkuknya dan kupijit sambil kukatakan, "Kamu pasti capek, sini Mbak pijitin..." Dia pun diam saja, maklum dia adalah anak yang manja. Kuraih remote control dan kutekan play untuk CD yang pertama, film-filmnya adalah jenis vivid dengan tema seks yang cukup halus. Tampaknya Alex sangat menyukainya, ah pucuk di cinta ulam pun tiba. Sambil kupijit sekujur tubuhnya, kuamati roman mukanya. Kukatakan tidak usah malu, karena itu hanya film saja (tidak sungguhan). Muka Alex tegang, setiap ada adegan orang berpelukan (cuma berpelukan) aku suruh dia telentang untuk pijatan bagian depan. Sambil telentang Alex tetap memperhatikan film yang tampaknya mulai disukainya itu. Kini acara di film mulai ke adegan yang cukup panas, seorang wanita melepas pakaiannya sehingga tinggal pakai celana dan BH dalam saja. Alex semakin tegang dan agak kupercepat tanganku mengarah ke pangkal pahanya. Pura-pura kupijit pahanya dengan menyentuh kemaluannya, dia terkejut ketika kemaluannya yang tegang kesentuh tanganku. Pucat pasi mukanya, namun kunetralisir dengan mengatakan "Tenang Alex, semua orang sama, adalah hal yang sangat wajar bila seseorang terangsang. Karena semua orang mempunyai nafsu." "Malu Mbak", jawab Alex. Kalau orang banyak malu, tapi Alex kan sendirian cuma sama Mbak. Mbak nggak malu kok. Dengan berkata demikian kubuka bajuku sehingga aku hanya pakai BH saja. Akupun heran juga kagum, anak seumur dia juga bisa tegang dan tampak tidak berdaya, jauh dari sikap sehari-hari yang agak arogan. Namun aku mulai menyukainya tanpa memikir yang jauh ke depan mengingat bapaknya sendiri juga berbuat serupa terhadap saya. Film terus berputar, tubuh Alex terasa hangat malah aku khawatir kalau dia sakit, dia tampak pucat entah takut apa bagaimana, aku tidak tahu.

Alex hanya melirik buah dadaku tanpa berani menatap langsung, dia tetap memperhatikan film dengan seksama. Saat kupegang lagi kemaluannya dia hanya diam saja, tak kusia-siakan kesempatan ini kuremas kemaluan yang berukuran agak kecil itu. Akupun sudah tidak memperhatikan film lagi, kubuka celana Alex dan kuperhatikan kemaluannya. Tampak bersih dan mulai ditumbuhi bulu-bulu halus, aku semakin bernafsu melihatnya. Langsung kuterkam dengan mulutku dan kumulai menjilatnya, Alex hanya terdiam sambil kadang pinggulnya bergerak menikmatinya. Kuhisap kemaluannya dan dia pun teriak Uh.. Mbak.. kubiarkan anak kecil itu menggelinjang, kubimbing tangannya ke payudaraku. Ah, dia malah meremas kuat sekali. Kumaklumi dia sangat lugu dalam hal ini, aku tidak menyesal malah menyukainya. Aku hisap terus, dia pun semakin bergerak tidak karuan sambil teriak-teriak ah, uh, ah, uh. Kemudian dia teriak keras sambil tubuhnya gemetar disusul oleh cairan hangat dari kemaluannya. Aku telan cairan asin dan pekat ini tanpa rasa jijik sedikit pun, dan dia pun diam lemas terkulai. Kupeluk dia, dan kubisikkan kata-kata, "Enakkan", sambil aku tersenyum, dia balas pelukanku dan hanya bicara "Mbak.." Aku bimbing dia ke kamar mandi dan kumandikan dengan air hangat, burung kecilku masih tidur dan aku yakin nanti akan bangun lagi.

Kemudian kami pun tidur bersama di depan televisi di atas karpet, dia tampak kelelahan dan tidur pulas. Aku pun puas meski tidak sampai coitus. Menjelang subuh aku bangun, dan kulihat dengan seksama tubuh Alex yang sedang tidur telanjang. Nafsuku bangkit lagi dan kucoba membangunkan burung kecil itu, ternyata berhasil dan kuulangi lagi perbuatan tadi malam dengan pertambahan Alex meningkatkan variasi permainan. Tampaknya Alex mulai mengikuti naruninya sebagai makhluk bernafsu, ia mungkin meniru adegan film tadi malam. BH-ku dibuka dan dijilati, aku pun merasakan kenikmatan dari anak bau kencur, kubayangkan anak dan bapaknya mengerjaiku seperti sekarang, ah tak mungkin. Aku tuntun tangan Alex ke kemaluanku yang sejak tadi malam belum tersentuh sama sekali. Kubimbing tangannya menggesek-gesek kemaluannya dan ia pun memahami keinginanku. Gerakan-gerakan Alex dan servicenya kepadaku masih sangat kaku, mungkin perlu beberapa kali aku melatihnya. Tiba-tiba ia menarik paksa celana dalamku dan BH-ku pun dilucuti. Kubiarkan dia berkreasi sendiri, tampak wajahnya masih tegang tapi tidak setegang tadi malam dan ia pun mulai tidak sopan kepadaku, ah biarlah. Aku didorong hingga telentang, dan ia pun langsung menindihku. Dicobanya memasukkan burung kecil itu ke dalam kemaluanku, namun berkali-kali ia tidak berhasil. Ia pun semakin penasaran, ah suami kecilku ini mesti banyak belajar dariku.

Kubimbing kemaluannya memasuki kemaluanku dan ia pun menggesek-gesekkannya. Terasa nafsuku merasuk ke sekujur tubuhku, kini penantianku tadi malam hampir tercapai dan ah nikmat sekali, suami kecilku bisa memuaskanku kali ini. Dengan cepat aku bangun dan kuhampiri burung kecil yang masih menantang itu, kuhisap dalam-dalam, dia pun mengerang kenikmatan dan terus menerus kuhisap hingga badannya bergetar dan lagi-lagi air liur burung kecil yang hangat itu menjadi bagian dari dagingku. Hari sudah terang, dan segera kami mandi air hangat bersama-sama. Aku merasa puas dan Alex hanya diam saja, entah apa yang dipikirkan. Menyesalkah? aku tidak tanya. Kenyataannya kisah ini masih berlangsung, sekarang Alex sudah SMA dan masih tetap dalam bimbinganku.

Pagi harinya bapaknya Alex (yang juga suamiku) datang dan dengan tanpa menaruh curiga sedikitpun. Ini adalah pengalaman pertamaku dengan burung muda.

Pesona Kota

Aku adalah seorang "Computer Engineer" yang selalu dinas keliling Indonesia guna melayani customer perusahaan tempatku bekerja. Satu saat tepatnya bulan Juni 1994, aku ditugaskan ke kota Y. Sesampai di stasiun kereta api jam 8 pagi aku langsung naik becak dan melintas jalan M yang cukup terkenal lalu meminta kepada tukang becak untuk segera diantar ke hotel yang mempunyai cukup fasilitas. Aku menurunkan tas koperku di depan hotel M. Setelah cukup istirahat aku berniat ingin sarapan, karena semalam di kereta api aku tidak makan. Namun ketika keluar dan akan mengunci pintu kamar, aku terkejut melihat beberapa wanita memakai pakaian swimsuit melintas dibelakangku. "Ada apa gerangan?", dalam hati aku bertanya.

Rasa ingin tahuku begitu besar, sehingga membuat perutku rasanya menjadi kenyang. Aku coba mengikuti para wanita tersebut dari belakang dan..., woww..., betapa bahenolnya pantat mereka. Sesaat aku berhenti dan..., ternyata mereka adalah pengujung biasa yang hanya ingin latihan fitness.

Beberapa saat aku memperhatikan mereka, dan ketika itu juga terdengar suara wanita menggoda menyapaku "Mau fitness juga Mas?", aku mencoba berbalik badan..., ya ampun!, seorang wanita memakai swimsuit warna pink dengan body yang aduhai dan mempunyai rambut lurus terurai hingga pundak menghampiriku sambil tersenyum.
"Wah senyumnya begitu menggoda pikirku dalam hati", hingga aku sejenak terdiam bagai patung tapi biji mataku berjalan dari atas ke bawah memperhatikan wanita tersebut yang mempunyai kaki begitu panjang dan indah. "Ohh..., tidak!, hanya lihat-lihat saja", jawabku.
"Mas..., dari Jakarta?" wanita tersebut kembali bertanya.
"Iya..., saya sedang tugas ke sini, dan kebetulan saya menginap di hotel ini, anda sendiri sedang apa disini?" aku memberanikan diri balik bertanya.
"Sebenarnya aku ke sini mau fitness, tapi sudah full..., jadi aku mengubah rencana ingin berenang saja, kebetulan kolam renangnya bersebelahan dengan ruangan fitness".

Kesunyian memecahkan pembicaraan kami sejenak..., dan "Oh, ya.., Bambang namaku.., kamu siapa?", aku mencoba berkenalan.
"Namaku Vina..., aku juga orang Jakarta, aku kuliah di sini, aku sering ke hotel ini hanya untuk fitness dan berenang" jawab Vina.
"Kalau begitu kita sama-sama saja ke kolam renang," aku coba mengajak.
"Emang Mas Bambang mau berenang juga", tanya Vina. Aku terkejut sambil menelan ludah..., gawat! aku kan nggak bisa berenang yachh..., ",pikirku dalam hati. "Oh, tidak..., tidak! kamu saja yang berenang, aku pesan makanan dan minuman, kebetulan aku belum sarapan", jawabku sambil memanggil pelayan.
"Oke dech kalau begitu..., Vina sekalian minta minuman berenergi boleh nggak..?".
Langsung aku jawab, "Boleh-boleh..., mau berapa botol?", Byuurr Vina menjatuhkan badannya ke kolam", aku pesan satu botol saja yach...", jawab Vina manja dari dalam kolam.

Setelah 30 menit Vina baru beranjak dari kolam renang dan langsung glek.., glek.., glek.., satu botol kecil minuman berenergi langsung kering diteguk Vina. "Pantas Vina mempunyai body begitu aduhai, dan pasti mempunyai gairah seks yang tinggi", aku mengira-ngira.
"Mas Bambang berapa lama di sini?", tanya Vina sambil mengusap-usap rambutnya dan menjatuhkan pantatnya di kursi malas di sampingku.
"Enggak lama kok, hanya 2 hari" jawabku berbohong, padahal aku harus 1 bulan menetap di kota Y, karena tugas yang akan aku lakukan cukup berat.
Angin sepoi-sepoi mengusap pembicaraan kami berdua, rasanya kami sudah cukup akrab meskipun perkenalan kami baru berlangsung beberapa jam dan tak terasa waktu menunjukan pukul 10 pagi.
"Kamu mandi dan ganti pakaian di kamarku saja", aku memberanikan diri memberi tawaran pada Vina yang sejak tadi melonjorkan badannya dengan tangan ke atas sehingga dengan bebas bulu ketiaknya menari-nari tertiup angin.
"Boleh dech...", jawab Vina singkat. Sampai di kamar, timbul rasa birahiku karena tergoda bentuk tubuh Vina yang menggigit seluruh persendianku.
"Mas..., nanti malam aku boleh ke sini nggak?, karena sekarang aku mau kuliah dulu, Mas juga kan mau tugas dulu kan..?", tanya Vina ketika keluar dari kamar mandi dengan pakaian sudah rapi. Pertanyaan Vina itu sekaligus mengundang ribuan setan mempengaruhi pikiranku mencari akal untuk merayu Vina agar dapat aku setubuhi. "Boleh..., datang saja", jawabku sambil memegang pundak Vina yang mempunyai umur 21 tahun tinggi badan 163 cm. Vina diam saja saat aku pegang pundaknya, malah dia menatapku tajam. Aku tak berdaya akan tatapan matanya yang begitu indah. Suasana hening..., dan perlahan aku goyangkan kepalaku untuk mencoba menyentuh bibirnya.
"Jangan Mas..., aku sudah pakai lipstik, nanti berantakan lagi" jawab Vina menolak dengan halus. Aku jadi penasaran, tapi aku yakin dari tatapan matanya tersembunyi ada kesan frustasi dalam diri Vina, tapi aku tidak mau mencoba berusaha tau ada apa sebenarnya yang terjadi tehadap diri Vina. Karena pikiranku sudah kacau termakan keindahan lekuk tubuh Vina yang begitu menggoda.

"Ting tong..., ting tong..., ting tong...", tepat pukul 7 malam suara bell kamar berbunyi 3 kali, aku segera menghampiri pintu dan saat kubuka..., wuuaahh kulihat Vina berdiri manis dengan mengenakan gaun tipis panjang warna biru muda dengan tali kecil di pundak hingga terlihat anggun. Terlihat bercak dua bulatan BH di dadanya dan celana dalam mungil yang tembus pandang tersorot lampu utama saat aku nyalakan.
"Mau mengajak jalan ke mana yach...? Kalau ke disco tidak mungkin, pasti makan malam, sebab Vina mengenakan pakaian resmi untuk pesta", dalam hati aku bertanya-tanya.
"Silakan masuk..., aku masih pakai handuk dan mau ganti pakaian dulu, aku baru selesai mandi", jawabku sambil menarik tangan Vina yang mulus putih bersih.

"Blaakk!" pintu kamar kututup dan..., terkejut aku tiba-tiba jemari lentik nan lembut memegang jemariku yang kasar yang setiap hari memegang obeng dan solder ketika aku mengunci pintu. Aku berbalik badan dan sambil berdiri langsung aku belai rambut Vina yang halus lurus terurai..., aku teruskan belaianku ke wajah Vina yang berbentuk oval dan terlihat ada rasa penyesalan bercampur keputus-asaan juga keinginan untuk melakukan persetubuhan yang paling melekat..., kulanjutkan belaianku menyusuri pundak..., "Ohh Mas...", jawab Vina lirih sambil memejamkan matanya isyarat meminta untuk dicium. Aku tatap bibirnya tidak berwarna merah muda lagi saat Vina pakai di siang hari tadi, mungkin ini menandakan aku boleh menciumnya. Aku dekap Vina dengan mesra seperti layaknya seorang istri di malam pertama. Dengan lembut aku hunjamkan ciuman dengan deras ke bibir Vina yang tipis menggoda. Tak disangka..., Vina membalas dengan menjulurkan lidahnya kedalam mulutku dan memainkannya dengan lihai. Aku segera membelai dan menciumi tengkuk leher panjang Vina sampai pundak dan..., ting..!, aku lepas tali gaunnya, hingga gaun terusan sampai kaki itu terjatuh ke lantai.

Kini hanya BH ukuran 36B tanpa tali ke pundak yang ada di hadapanku siap aku mangsa. "Ahh..., ouuhh..., Mass..., beri aku kepuasan.." terdengar suara Vina meminta dengan pasrah yang saat itu juga terdengar degupan jantung Vina yang berdetak keras dengan nafas terengah-engah apalagi disaat aku mencoba membuka BH-nya yang yang tipis berwarna putih. Wooww..., indah sekali buah dada Vina yang menonjol ke depan dengan puting kecil dan dikelilingi aurora yang kecil pula dan penuh kehangatan itu.
"oouuhh..., Mass..., isap..., isap dong Mass..." pinta Vina memelas.
Aku langsung melahap dua buah gunung kembar itu dengan hisapan dan jilatan yang liar sehingga membangunkan kemaluanku yang bersembunyi di balik handuk, sepertinya kemaluankupun sudah tidak sabar menggedor-gedor dan menjatuhkan handuk hingga aku kini telanjang bulat. Aku semakin gencar melancarkan serangan ke seluruh tubuh Vina yang wangi khas parfum true love, aku meremas buah dada kiri Vina dan menjilati buah dada kanan Vina sambil memeluk dan mengelus-eluskan tanganku di punggung Vina sampai ke pantat. Vina mendengus keenakan dan membuang kepalanya ke belakang dengan otomatis dadanya membusung ke depan dan makin tampak pula keindahan buah dadanya yang menonjol membesar. "Terus Mass..., ouugghh..., yang keras isapnya Mass...", Vina memaksa.

Perlahan aku pelorotkan celana dalam Vina yang tipis berwarna putih dan berbunga di tengahnya hingga dengkul dan tanpa dikomando aku telah benamkan kepalaku di hadapan liang kewanitaan Vina yang tersembunyi dibalik bulu-bulu halus yang lebat tak terkira. Ohh..., honey..., please go on..., ouuhh..., sepertinya Vina kurang bebas, akhirnya dia pelorotkan sendiri celana dalamnya sampai kini dia benar-benar bugil tanpa sehelai benangpun menempel di tubuh indahnya itu. Sambil berdiri Vina membuka kakinya lebar-lebar untuk menyerahkan lubang kenikmatannya yang menganga agar segera dijilat.
"sstt..., sluupp..., eehhmm..., ohh... Vina betapa sempitnya memekmu", pikirku yang terus membungkuk dan menjilati clitoris Vina yang nangkring di pintu gua yang penuh misterius namun penuh kenikmatan itu.
"uugghh..., oouuhh..., eehhmm..." Vina mendesah dan..., sseerr..., cairan madzi membanjiri liang kewanitaan yang membuatku semakin mudah meluncurkan kemaluanku untuk menembus liang kewanitaan Vina. Kebangkitan birahi Vina makin membara dan mulai memutar-mutarkan pantatnya yang gempal dan bulat seirama dengan jilatan lidahku yang lincah menari-nari di sekitara clitoris dengan sekali-sekali memasukan lidahku ke dalam gua yang gelap gulita. Vina menggelinjang keenakan. Aku begitu merasakan kenikmatan begitupun Vina yang menarik-narik rambutku dengan ganas..., bagai seorang wanita yang sudah lama haus menantikan kenikmatan yang tiada tara itu. "Oohh..., honey masukin cepat kemaluannya", pinta Vina tak sabar sambil menjatuhkan kedua tangannya ke sofa dan menjulurkan pantatnya ke belakang dengan kaki mengangkang.

Kini Vina dalam posisi berdiri menungging kebelakang siap menerima kemaluanku dari belakang. Sleebb..., kemaluanku menembus lorong gelap menuju singgasananya dengan perlahan.
"oouuhh..., nikmat sekali Maass..., terus perlahan Maass..., acchhkk..., jangan berhenti Maass..." Vina memohon lirih, diputar-putarkan pantatnya dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga rasa geli menyelimuti kemaluanku yang keluar masuk di liang senggama Vina yang sempit tapi lembut. Aku semakin mengganas tatkala aku dengar desahan Vina yang tiada hentinya.
"Oouugghh..., acchhkk..., yang cepat..., yang keras..., Mass..., Mass..., oouugghh..., Maass...!". Seerr..., terasa basah mengguyur kemaluanku yang masih berdiri tegak dengan panjang 14 Cm dan diameter 3.5 cm itu. Sehingga terdengar bunyi clep..., clep..., liang surga Vina mulai becek, Vina mengeluarkan kemaluanku dan..., slupp..., sluupp..., sstt..., Vina langsung melahap kemaluanku dan mengisap dengan rakusnya, sesekali dia julurkan lidahnya untuk menjilati dua buah biji kemaluanku hingga lubang anus yang membuatku mengelinjang kegelian.

Setelah puas memainkan kemaluanku, sepertinya Vina meminta kembali untuk diserang dan dia menarikku ke kamar mandi hingga ke bath tab dengan memegang kemaluanku. Aku seperti kerbau dungu yang mau menuruti perintah tuannya, namun jika kerbau yang ditarik hidungnya, tapi aku yang ditarik kemaluanku yang sedang menegang. Vina membuka kran air dingin tanpa air panasnya, jadi terasa dingin sekali tatkala kami berdua menjatuhkan diri kedalam bath tab tersebut..., namun tidak mengecilkan semangat kemaluankku yang masih terus menjulang tegang. Vina menutup air kran setelah bath tab terisi sedikit sekedar membasahi alas bath tab. Vina kembali menjilati kemaluanku..., selangkanganku. Aku tidak mau kalah, akhirnya aku bangkit dan aku tidur kembali membalikkan tubuhku sehingga kepalaku kini berada tepat di depan liang kewanitaan Vina yang telah dari tadi menganga minta dijilat. Dalam keadaan posisi 69, Vina berada di bawah dengan kaki merenggang diangkat ke sisi-sisi bath tab, Vina mengangkat pantatnya sambil digoyang-goyang dengan dengan cepat karena semakin geli oleh jilatan lidahku yang menusuk-nusuk hingga dalam.
"oouuhh..., Maass..., masukin sayang..., aku sudah nggak tahan nich...", Vina mengeluh minta dimasukin.

Akhirnya kami merubah posisi, giliran Vina yang berada di atas, sedang aku di bawah. Dengan posisi berjongkok Vina langsung menangkap kemaluanku dan menuntunnya masuk kedalam lubangnya yang sudah basah dengan campuran madzi dan air kran juga air ludahku. Sleebb..., sleebb..., perlahan Vina menaik-turunkan tubuhnya sambil memegang dadaku yang plontos tanpa bulu sedikitpun. Aku lihat mata Vina merem-melek keenakan sambil mengigit-gigitkan bibirnya yang mungil itu dengan sesekali mendesah. "Aahh..., acchh..., oouucchh..., Mass..., nikmat sekali, kamu hebat mass..., bisa bikin aku puas..., oouuhh! acchh...! uuhh..., baru kali ini aku merasakan kepuasan..., oouugghh...!", Vina mengerang merasakan kenikmatan yang tiada tara. Vina semakin mempercepat gerakannya dan terdengar suara bleb.., bleb.., yang begitu keras antara pantat Vina yang besar dengan pahaku, berpadu dengan suara teriakan Vina yang meminta ampun merasakan ngilu atas gesekan kemaluanku dengan liang kewanitaan Vina.

"Mass..., aku mau keluar lagi..., kita keluarin sama-sama yach say..?", pinta Vina lagi memelas dengan suara sedikit gemetaran menahan rasa nikmat yang segunung.
"uugghh..., honey..., aku mau keluar..., ayo sayang.., lebih cepat, lebih cepat lagi sayang..., ouugghh...!", aku mendengus. "oouuhh..,. aacckkhh...!!", Vina berteriak keras sambil menggaruk dadaku kuat-kuat merasakan kenikmatan dunia yang hebat itu. Cret.., cret.., cret..., cret..., cairan maniku membasahi lubang kenikmatan Vina dan terasa becek sekali, tapi rasa itu menghilang dengan secara mendadak kemaluanku yang masih mendarat di lubang kemaluan Vina dipijit dengan keras oleh liang senggama Vina yang kembang kempis. "Terima kasih ya Mas..., sudah memberi kepuasan kepada Vina" ucapan Vina membisik di telingaku dan Vina langsung terkulai lemas di atas tubuhku dan tanpa sadar dia terbaring lelap dengan keadaan telanjang bulat, indah dan mulus sekali tubuhnya walau sudah 3 kali orgasme, bau aroma True Love-nyapun tetap melekat di tubuhnya. Aku peluk tubuhnya dengan mesra dan akupun mulai tertidur, sebelumnya aku buka penyumbat air bath tab supaya airnya mengalir keluar dan tidak menggenang di dalam bath tub. "Kalau airnya nggak dibuang bisa masuk angin aku..., apalagi dalam keadaan capek begini", pikirku dalam hati

Kamipun tertidur lelap sampai pagi di dalam bath tab. Ternyata Vina wanita yang kawin diusia muda dan melanjutkan kuliah di kota "Y", tapi tidak pernah mendapatkan kepuasan seks dari suaminya, karena kemaluan suaminya lama sekali untuk bangun, sehingga kadang-kadang Vina sudah mencapai 3 kali orgasme sebelum rudal scud suaminya bangun dan masuk ke liang kewanitaan Vina. Jadi masih bisa dihitung baru 5 kali kemaluan suami Vina menyelam ke dalam liang senggama Vina. "Pantes..., memek Vina sempit seperti perawan", pikirku dalam hati. Dan semenjak itu setiap ada tugas ke kota "Y" aku selalu mengambilnya, dan sebelum berangkat aku telepon Vina dahulu.


TAMAT

Rahasia Kita Berdua

Ketika itu saya baru berumur 12 tahun, sebagai anak tunggal. Sewaktu orang tua saya sedang pergi keluar negeri. Teman baik ibuku, Tante Susi, yang berumur 26 tahun, diminta oleh orang tuaku untuk tinggal di rumah menjagaiku. Karena suaminya harus keluar kota, Tante Susi akan menginap di rumahku sendirian. Tante Susi badannya agak tinggi, rambutnya dipotong pendek sebahu, kulitnya putih bersih, wajahnya ayu, pakaian dan gayanya seksi. Tentu saja saya sangat setuju sekali untuk ditemani oleh Tante Susi.

Biasanya, setiap ada kesempatan saya suka memainkan kemaluanku sendirian. Tapi belum pernah sampai keluar, waktu itu saya masih belum mengerti apa-apa, hanya karena rasanya nikmat. Mengambil kesempatan rumah lagi kosong dan Tante Susi juga belum datang. Setelah pulang sekolah, saya ke kamar tidurku sendirian memijit-mijit kemaluanku sembari menghayalkan tubuh Tante Susi yang seksi. Kubayangkan seperti yang pernah kulihat di majalah porno dari teman-temankuku di sekolah. Selagi asyiknya bermain sendirian tanpa kusadari Tante Susi sudah tiba di rumahku dan tiba-tiba membuka pintu kamarku yang lupa kukunci.

Dia sedikit tercengang waktu melihatku berbaring diatas ranjang telanjang bulat, sembari memegangi kemaluanku yang berdiri. Aduh malunya setengah mati, ketangkap basah lagi mainin burung. Segera kututupi kemaluanku dengan bantal, wajahku putih pucat.
Melihatku ketakutan, Tante Susi hanya tersenyum dan berkata",Eh, kamu sudah pulang sekolah Asan., Tante juga baru saja datang". Saya tidak berani menjawabnya.
"Tidak usah takut dan malu sama Tante, itu hal biasa untuk anak-anak mainin burungnya sendiri" ujarnya. Saya tetap tidak berani berkutik dari tempat tidur karena sangat malu.
Tante Susi lalu menambah, "Kamu terusin saja mainnya, Tante hanya mau membersihkan kamar kamu saja, kok".
"Tidak apa-apa kan kalau Tante turut melihat permainanmu", sembari melirik menggoda, dia kembali berkata "Kalau kamu mau, Tante bisa tolongin kamu, Tante mengerti kok dengan permainanmu, Asan.", tambahnya sembari mendekatiku.
"Tapi kamu tidak boleh bilang siapa-siapa yah, ini akan menjadi rahasia kita berdua saja". Saya tetap tidak dapat menjawab apa-apa, hanya mengangguk kecil walaupun saya tidak begitu mengerti apa maksudnya.

Tante Susi pergi ke kamar mandi mengambil Baby Oil dan segera kembali ke kamarku. Lalu dia berlutut di hadapanku. Bantalku diangkat perlahan-lahan, dan saking takutnya kemaluanku segera mengecil dan segera kututupi dengan kedua telapak tanganku.
"Kemari dong, kasih Tante lihat permainanmu, Tante janji akan berhati-hati deh", katanya sembari membujukku. Tanganku dibuka dan mata Tante Susi mulai turun ke bawah kearah selangkanganku dan memperhatikan kemaluanku yang mengecil dengan teliti. Dengan perlahan-lahan dia memegang kemaluanku dengan kedua jarinya dan menuruni kepalanya, dengan tangan yang satu lagi dia meneteskan Baby Oil itu di kepala kemaluanku, senyumnya tidak pernah melepaskan wajahnya yang cantik.
"Tante pakein ini supaya rada licin, kamu pasti suka deh" katanya sembari mengedipkan sebelah matanya.

Malunya setengah mati, belum ada orang yang pernah melihat kemaluanku, apa lagi memegangnya. Hatiku berdebar dengan kencang dan wajahku merah karena malu. Tapi sentuhan tangannya terasa halus dan hangat.
"Jangan takut Asan., kamu rebahan saja", ujarnya membujukku. Setelah sedikit tenang mendengar suaranya yang halus dan memastikan, saya mulai dapat menikmati elusan tangannya yang lembut. Tangannya sangat mahir memainkan kemaluanku, setiap sentuhannya membuat kemaluanku bergetar dengan kenikmatan dan jauh lebih nikmat dari sentuhan tanganku sendiri.
"Lihat itu sudah mulai membesar kembali", kemudian Tante Susi melumuri Baby Oil itu ke seluruh batang kemaluanku yang mulai menegang dan kedua bijinya. Kemudian Tante Susi mulai mengocok kemaluanku digenggamannya perlahan-lahan sambil membuka lebar kedua pahaku dan mengusap bijiku yang mulai panas membara.

Kemaluanku terasa kencang sekali, berdiri tegak seenaknya dihadapan muka Tante Susi yang cantik. Perlahan Tante Susi mendekati mukanya kearah selangkanganku, seperti sedang mempelajarinya. Terasa napasnya yang hangat berhembus di paha dan di bijiku dengan halus. Saya hampir tidak bisa percaya, Tante Susi yang baru saja kukhayalkan, sekarang sedang berjongkok diantara selangkanganku.

Setelah kira-kira lima menit kemudian, saya tidak dapat menahan rasa geli dari godaan jari-jari tangannya. Pinggulku tidak bisa berdiam tenang saja di ranjang dan mulai mengikuti setiap irama kocokan tangan Tante Susi yang licin dan berminyak. Belum pernah saya merasa seperti begitu, semua kenikmatan duniawi ini seperti berpusat tepat ditengah-tengah selangkanganku.
Mendadak Tante Susi kembali berkata, "Ini pasti kamu sudah hampir keluar, dari pada nanti kotorin ranjang Tante hisap saja yah". Saya tidak mengerti apa yang dia maksud. Dengan tiba-tiba Tante Susi mengeluarkan lidahnya dan menjilat kepala kemaluanku lalu menyusupinya perlahan ke dalam mulutnya.

Hampir saja saya melompat dari atas ranjang. Karena bingung dan kaget, saya tidak tahu harus membikin apa, kecuali menekan pantatku keras ke dalam ranjang. Tangannya segera disusupkan ke bawah pinggulku dan mengangkatnya dengan perlahan dari atas ranjang. Kemaluanku terangkat tinggi seperti hendak diperagakan dihadapan mukanya. Kembali lidahnya menjilat kepala kemaluanku dengan halus, sembari menyedot ke dalam mulutnya. Bibirnya merah merekah tampak sangat seksi menutupi seluruh kemaluanku. Mulut dan lidahnya terasa sangat hangat dan basah. Lidahnya dipermainkan dengan sangat mahir. Matanya tetap memandang mataku seperti untuk meyakinkanku. Tangannya kembali menggenggam kedua bijiku. Kepalanya tampak turun naik disepanjang kemaluanku, saya berasa geli setengah mati. Ini jauh lebih nikmat daripada memakai tangannya.

Sekali-sekali Tante Susi juga menghisap kedua bijiku bergantian dengan gigitan-gigitan kecil. Dan perlahan turun ke bawah menjilat lubang pantatku dan membuat lingkaran kecil dengan ujung lidahnya yang terasa sangat liar dan hangat. Saya hanya dapat berpegangan erat ke bantalku, sembari mencoba menahan rintihanku. Kudekap mukaku dengan bantal, setiap sedotan kurasa seperti yang saya hendak menjerit. Napasku tidak dapat diatur lagi, pinggulku menegang, kepala saya mulai pening dari kenikmatan yang berkonsentrasi tepat diantara selangkanganku. Mendadak kurasa kemaluanku seperti akan meledak. Karena rasa takut dan panik, kutarik pinggulku kebelakang. Dengan seketika, kemaluanku seperti mempunyai hidup sendiri, berdenyut dan menyemprot cairan putih yang lengket dan hangat ke muka dan ke rambut Tante Susi. Seluruh badanku bergetar dari kenikmatan yang tidak pernah kualami sebelumnya. Saya tidak sanggup untuk menahan kejadian ini. Saya merasa telah berbuat sesuatu kesalahan yang sangat besar. Dengan napas yang terengah-engah, saya meminta maaf kepada Tante Susi atas kejadian tersebut dan tidak berani untuk menatap wajahnya.
Tetapi Tante Susi hanya tersenyum lebar, dan berkata "Tidak apa-apa kok, ini memang harus begini", kembali dia menjilati cairan lengket itu yang mulai meleleh dari ujung bibirnya dan kembali menjilati semua sisa cairan itu dari kemaluanku sehingga bersih.
"Tante suka kok, rasanya sedap", tambahnya.

Dengan penuh pengertian Tante Susi menerangkan bahwa cairan itu adalah air mani dan itu wajar untuk dikeluarkan sekali-sekali. Kemudian dengan penuh kehalusan dia membersihkanku dengan handuk kecil basah dan menciumku dengan lembut dikeningku.

Setelah semuanya mulai mereda, dengan malu-malu saya bertanya, "Apakah perempuan juga melakukan hal seperti ini?".
Tante Susi menjawab "Yah, kadang-kadang kita orang perempuan juga melakukan itu, tapi caranya agak berbeda". Dan Tante Susi berkata yang kalau saya mau, dia dapat menunjukkannya. Tentu saja saya bilang yang saya mau menyaksikannya.

Kemudian jari-jari tangan Tante Susi yang lentik dengan perlahan mulai membuka kancing-kancing bajunya, memperagakan tubuhnya yang putih. Waktu kutangnya dibuka buah dadanya melejit keluar dan tampak besar membusung dibandingkan dengan perutnya yang mengecil ramping. Kedua buah dadanya bergelayutan dan bergoyang dengan indah. Dengan halus Tante Susi memegang kedua tanganku dan meletakannya di atas buah dadanya. Rasanya empuk, kejal dan halus sekali, ujungnya agak keras. Putingnya warna coklat tua dan agak besar. Tante Susi memintaku untuk menyentuhnya. Karena belum ada pengalaman apa-apa, saya pencet saja dengan kasar. Tante Susi kembali tersenyum dan mengajariku untuk mengelusnya perlahan-lahan. Putingnya agak sensitif, jadi kita harus lebih perlahan disana, katanya. Tanganku mulai meraba tubuh Tante Susi yang putih bersih itu. Kulitnya terasa sangat halus dan panas membara dibawah telapak tanganku. Napasnya memburu setiap kusentuh bagian yang tertentu. Saya mulai mempelajari tempat-tempat yang disukainya.

Tidak lama kemudian Tante Susi memintaku untuk menciumi tubuhnya. Ketika saya mulai menghisap dan menjilat kedua buah dadanya, putingnya terasa mengeras di dalam mulutku. Napasnya semakin menderu-deru, membuat buah dadanya turun naik bergoyang dengan irama. Lidahku mulai menjilati seluruh buah dadanya sampai keduanya berkilat dengan air liurku mukanya tampak gemilang dengan penuh gairah. Bibirnya yang merah merekah digigit seperti sedang menahan sakit. Roknya yang seksi dan ketat mulai tersibak dan kedua lututnya mulai melebar perlahan. Pahanya yang putih seperti susu mulai terbuka menantang dengan gairah di hadapanku. Tante Susi tidak berhenti mengelus dan memeluki tubuhku yang masih telanjang dengan kencang. Tangannya menuntun kepalaku ke bawah kearah perutnya. Semakin ke bawah ciumanku, semakin terbuka kedua pahanya, roknya tergulung ke atas. Saya mulai dapat melihat pangkal paha atasnya dan terlihat sedikit bulu yang hitam halus mengintip dari celah celana dalamnya. Mataku tidak dapat melepaskan pemandangan yang sangat indah itu.

Kemudian Tante Susi berdiri tegak di hadapanku dengan perlahan Tante Susi mulai membuka kancing roknya satu persatu dan membiarkan roknya terjatuh di lantai. Tante Susi berdiri di hadapanku seperti seorang putri khayalan dengan hanya memakai celana dalamnya yang putih, kecil, tipis dan seksi. Tangannya ditaruh di pingulnya yang putih dan tampak serasi dengan kedua buah dadanya diperagakannya di hadapanku. Pantatnya yang hanya sedikit tertutup dengan celana dalam seksi itu bercuat menungging ke belakang. Tidak kusangka yang seorang wanita dapat terlihat begitu indah dan menggiurkan. Saya sangat terpesona memandang wajah dan keindahan tubuhnya yang bercahaya dan penuh gairah.

Tante Susi menerangkan yang bagian tubuh bawahnya juga harus dimainkan. Sambil merebahkan dirinya di ranjangku, Tante Susi memintaku untuk menikmati bagiannya yang terlarang. Saya mulai meraba-raba pahanya yang putih dan celana dalamnya yang agak lembab dan bernoda. Pertama-tama tanganku agak bergemetar, basah dari keringat dingin, tetapi melihat Tante Susi sungguh-sungguh menikmati semua perbuatanku dan matanya juga mulai menutup sayu, napasnya semakin mengencang. Saya semakin berani dan lancang merabanya. Kadang-kadang jariku kususupkan ke dalam celana dalamnya menyentuh bulunya yang lembut. Celana dalamnya semakin membasah, noda di bawah celana dalamnya semakin membesar. Pingulnya terangkat tinggi dari atas ranjang. Kedua pahanya semakin melebar dan kemaluannya tercetak jelas dari celana dalamnya yang sangat tipis itu.

Setelah beberapa lama, Tante Susi dengan merintih memintaku untuk membuka celana dalamnya. Pinggulnya diangkat sedikit supaya saya dapat menurunkan celana dalamnya ke bawah. Tante Susi berbaring di atas ranjang tanpa sehelai benangpun yang menutupi tubuhnya. Disitu untuk pertama kali saya dapat menyaksikan kemaluan seorang wanita dari jarak yang dekat dan bukan hanya dari majalah. Bulu-bulu di atas kemaluannya itu tampak hitam lembut, tumbuh dengan halus dan rapi dicukur, sekitar kemaluannya telah dicukur hingga bersih membuat lekuk kemaluannya tampak dari depan. Tante Susi membuka selangkangannya dengan lebar dan menyodorkan kewanitaannya kepadaku tanpa sedikit rasa malu. Sembari bangkit duduk di tepi ranjang, Tante Susi memintaku untuk berjongkok diantara kedua pahanya untuk memperhatikan vagina nya dari jarak dekat. Dengan penuh gairah kedua jarinya mengungkap bibir kemaluannya yang rada tebal dan kehitam-hitaman dan memperagakan kepadaku lubang vaginanya yang basah dan berwarna merah muda.

Dengan nada yang ramah, Tante Susi menggunakan jari tangannya sendiri dengan halus, menerangkan kepadaku satu persatu seluruh bagian tubuh bawahnya. Tempat-tempat dan cara-caranya untuk menyenangkan seorang wanita. Kemudian Tante Susi mulai menggunakan jari tanganku untuk diraba-rabakan kebagian tubuh bawahnya. Rasanya sangat hangat, lengket dan basah. Clitorisnya semakin membesar ketika saya menyentuhnya. Aroma dari vaginanya mulai memenuhi udara di kamarku, aromanya menyenangkan dan berbau bersih. Dari dalam lubang vaginanya perlahan-lahan keluar cairan lengket berwarna putih dan kental dan mulai melumuri semua permukaan lubang vaginanya. Mengingat apa yang dia sudah lakukan dengan air maniku, saya kembali bertanya "Boleh nggak saya mencicipi air mani Tante?" Tante Susi hanya mengangguk kecil dan tersenyum.

Perlahan saya mulai menjilati pahanya yang putih dan sekitar lubang vagina Tante Susi yang merah dan lembut. Cairannya mulai mengalir keluar dengan deras ke selangkangannya. Lidahku menangkap tetesan itu dan mengikuti aliran cairan itu sampai balik ke asal lubangnya. Rasanya agak keasinan dengan berbau sangat khas, tidak seperti kata orang, cairan Tante Susi sangat bersih dan tidak berbau amis. Begitu pertama saya mencicipi alat kelamin Tante Susi, saya tahu yang saya dapat menjilatinya terus-menerus, karena saya sangat menyukai rasanya. Tante Susi mendadak menjerit kecil ketika lidahku menyentuh clitorisnya. Saya tersentak takut karena mungkin saya telah membuatnya sakit. Tetapi Tante Susi kembali menjelaskan bahwa itu hal biasa kalau seseorang mengerang waktu merasa nikmat.

Semakin lama, saya semakin berani untuk menjilati dan menghisapi semua lubang vagina dan clitorisnya. Pinggulnya diangkat naik tinggi. Tangannya tidak berhenti memeras buah dadanya sendiri, cengkramannya semakin menguat. Napasnya sudah tidak beraturan lagi. Kepalanya terbanting ke kanan dan ke kiri. Pinggul dan pahanya kadang-kadang mengejang kuat, berputar dengan liar. Kepalaku terkadang tergoncang keras oleh dorongan dari kedua pahanya. Tangannya mulai menjambak rambutku dan menekan kepalaku erat kearah selangkangannya. Dari bibirnya yang mungil itu keluar desah dan rintihan memanggil namaku, seperti irama di telingaku. Keringatnya mulai keluar dari setiap pori-pori tubuhnya membuat kulitnya tampak bergemilang di bawah cahaya lampu. Matanya sudah tidak memandangku lagi, tapi tertutup rapat oleh bulu mata yang panjang dan lentik. Sembari merintih Tante Susi memintaku untuk menyodok-nyodokkan lidahku ke dalam lubang vaginanya dan mempercepat iramaku. Seluruh mukaku basah tertutup oleh cairan yang bergairah itu.

Kemudian Tante Susi memintaku untuk berbalik supaya dia juga dapat menghisap kemaluanku bersamaan. Setelah melumuri kedua buah dadanya yang busung itu dengan Baby Oil, Tante Susi menggosok-gosokkan dan menghimpit kemaluanku yang sudah keras kembali diantara buah dadanya, dan menghisapinya bergantian. Kemudian Tante Susi memintaku untuk lebih berkonsentrasi di clitorisnya dan menyarankanku untuk memasuki jariku ke lubang vaginanya. Dengan penuh gairah saya pertama kalinya merasakan bahwa kelamin wanita itu dapat berasa begitu panas dan basah. Otot vaginanya yang terlatih terasa memijiti jari tanganku perlahan. Bibir dan lubang vaginanya tampak merekah, berkilat dan semakin memerah. Clitorisnya bercahaya dan membesar seperti ingin meledak. Setelah tidak beberapa lama, Tante Susi memintaku untuk memasukkan satu jariku ke dalam lubang pantatnya yang ketat. Dengan bersamaan, Tante Susi juga masukkan satu jarinya pula ke dalam lubang pantatku. Tangannya dipercepat mengocok kemaluanku. Pahanya mendekap kepalaku dengan keras. Pinggulnya mengejang keras. Terasa dilidahku urat-urat sekitar dinding vaginanya berkontraksi keras ketika dia keluar. Saya menjerit keras bersama-sama Tante Susi sembari memeluknya dengan erat, kita berdua keluar hampir bersamaan. Kali ini Tante Susi menghisap habis semua air maniku dan terus menghisapi kemaluanku sampai kering.

Setelah itu kita berbaring telanjang terengah mengambil napas. Badannya yang berkeringat dan melemah, terasa sangat hangat memeluki tubuhku dari belakang, tangannya tetap menghangati dan mengenggam kemaluanku yang mengecil. Aroma dari yang baru saja kita lakukan masih tetap memenuhi udara kamarku. Wajahnya tampak gemilang bercahaya menunjukan kepuasan, senyumnya kembali menghiasi wajahnya yang terlihat lelah. Lalu kita jatuh tertidur berduaan dengan angin yang sejuk meniup dari jendela yang terbuka. Setelah bangun tidur, kita mandi bersama. Waktu berpakaian Tante Susi mencium bibirku dengan lembut dan berjanji yang nanti malam dia akan mengajari bagaimana caranya bila kejantananku dimasukkan ke dalam kewanitaannya.

Sejak hari itu, selama satu minggu penuh, setiap malam saya tidur di kamar tamu bersama Tante Susi dan mendapat pelajaran yang baru setiap malam. Tetapi setelah kejadian itu, kita tidak pernah mendapat kesempatan kembali untuk melanjutkan hubungan kami. Hanya ada peristiwa sekali, waktu orangtuaku mengadakan pesta di rumah, Tante Susi datang bersama suaminya. Di dapur, waktu tidak ada orang lain yang melihat, Tante Susi mencium pipiku sembari meraba kemaluanku, tersenyum dan berbisik "Jangan lupa dengan rahasia kita Asan."
Dua bulan kemudian Tante Susi pindah ke kota lain bersama suaminya. Sampai hari ini saya tidak akan dapat melupakan satu minggu yang terbaik itu di dalam sejarah hidupku. Dan saya merasa sangat beruntung untuk mendapat seseorang yang dapat mengajariku bersetubuh dengan cara yang sangat sabar, sangat profesional dan semanis Tante Susi.

Sakit Hati

Sebenarnya aku dilahirkan menjadi anak yang beruntung. Papa punya kedudukan di kantor dan Mama seorang juru rias / ahli kecantikan terkenal. Sering jadi pembicara dimana-mana bahkan sering menjadi perias pengantin orang-orang beken di kotaku. Sayangnga mereka semua orang-orang sibuk. Kakakku, Kak Luna, usianya terpaut jauh diatasku 5 tahun. Hanya dialah tempatku sering mengadu. Semenjak dia punya pacar, rasanya semakin jarang aku dan kakakku saling berbagi cerita.

Saat itu aku masih SMP kelas 2, Kak Luna sudah di SMA kelas 2. Banyak teman-temanku maupun teman kakakku naksir kepadaku. Kata mereka sih aku cantik. Walaupun aku merasa biasa-biasa saja (Tapi dalam hati bangga lho.., he.., he..) Aku punya body bongsor dengan kulit putih bersih. Rambut hitam lurus, mata bulat dan bibir seksi (katanya sich he.., he..). Saat itu aku merasa bahwa payudaraku lebih besar dibandingkan teman-temanku, kadang-kadang suka malu saat olah raga, nampak payudaraku bergoyang-goyang. Padahal sebenarnya hanya berukuran 34B saja. Salah seorang teman kakakku, Kak Agun namanya, sering sekali main ke rumah. Bahkan kadang-kadang ikutan tidur siang segala. Cuma seringnya tidur di ruang baca, karena sofa di situ besar dan empuk. Ruangannya ber AC, full music. Kak Agun bahkan dianggap seperti saudara sendiri. Mama dan orang tuanya sudah kenal cukup lama.

Saat itu hari Minggu, Mama, Papa, dan Kak Luna pergi ke luar kota. Mak Yam pembantuku pulang kampung, Pak Rebo tukang kebun sedang ke tempat saudaranya. Praktis aku sendirian di rumah. Aku sebenarnya diajak Mama tapi aku menolak karena PR bahasa Inggrisku menumpuk.

Tiba-tiba aku mendengar bunyi derit rem. Aku melihat Kak Agun berdiri sambil menyandarkan sepeda sportnya ke garasi. Tubuhnya yang dibalut kaos ketat nampak basah keringat.
"Barusan olah raga..., muter-muter, terus mampir..., Mana Kak Luna?", tanyanya. Aku lalu cerita bahwa semua orang rumah pergi keluar kota. Aku dan Kak Agun ngobrol di ruang baca sambil nonton TV. Hanya kadang-kadang dia suka iseng, menggodaku. Tangannya seringkali menggelitik pinggangku sehingga aku kegelian.
Aku protes, "Datang-datang..., bikin repot. Mending bantuin aku ngerjain PR". Eh..., Kak Agun ternyata nggak nolak, dengan seriusnya dia mengajariku, satu persatu aku selesaikan PR-ku.
"Yess! Rampung!", aku menjerit kegirangan. Aku melompat dan memeluk Kak Agun, "Ma kasih Kak Agun". Nampaknya Kak Agun kaget juga, dia bahkan nyaris terjatuh di sofa.
"Nah..., karena kamu sudah menyelesaikan PR-mu, aku kasih hadiah" kata Kak Agun.
"Apa itu? Coklat?", kataku.
"Bukan, tapi tutup mata dulu", kata dia. Aku agak heran tapi mungkin akan surprise terpaksa aku menutup mata.

Tiba-tiba aku merasa kaget, karena bibirku rasanya seperti dilumat dan tubuhku terasa dipeluk erat-erat.
"Ugh..., ugh...", kataku sambil berusaha menekan balik tubuh Kak Agun.
"Alit..., nggak apa-apa, hadiah ini karena Kak Agun sayang Alit".
Rasanya aku tiba-tiba lemas sekali, belum sempat menjawab bibirku dilumat lagi. Kini aku diam saja, aku berusaha rileks, dan lama-lama aku mulai menikmatinya. Ciuman Kak Agun begitu lincah di bibirku membuat aku merasa terayun-ayun. Tangannya mulai memainkan rambutku, diusap lembut dan menggelitik kupingku. Aku jadi geli, tapi yang jelas saat itu aku merasa beda. Rasanya hati ini ada yang lain. Kembali Kak Agun mencium pipiku, kedua mataku, keningku dan berputar-putar di sekujur wajahku. Aku hanya bisa diam dan menikmati. Rasanya saat itu aku sudah mulai lain. Napasku satu persatu mulai memburu seiring detak jantungku yang terpacu. Kemudian aku diangkat dan aku sempat kaget!
"Kak Agun..., kuat juga". Dia hanya tersenyum dan membopongku ke kamarku. Direbahkannya aku di atas ranjang dan Kak Agun mulai lagi menciumku. Saat itu perasaanku tidak karuan antara kepingin dan takut. Antara malu dan ragu. Ciuman Kak Agun terus menjalar hingga leherku. Tangannya mulai memainkan payudaraku. "Jangan..., jangan..., acch..., acch...", aku berusaha menolak namun tak kuasa. Tangannya mulai menyingkap menembus ke kaos Snoopy yang kupakai. Jari-jemarinya menari-nari di atas perut, dan meluncur ke BH. Terampil jemarinya menerobos sela-sela BH dan menggelitik putingku. Saat itu aku benar-benar panas dingin, napasku memburu, suaraku rasanya hanya bisa berucap dan mendesis-desis "ss..., ss...",. Tarian jemarinya membuatku terasa limbung, ketika dia memaksaku melepas baju, aku pun tak kuasa. Nyaris tubuhku kini tanpa busana. Hanya CD saja yang masih terpasang rapi. Kak Agun kembali beraksi, ciumannya semakin liar, dan jemarinya, telapak tangannya mengguncang-guncang payudaraku, aku benar-benar sudah hanyut. Aku mendesis-desis merasakan sesuatu yang nikmat. Aku mulai berani menjepit badannya dengan kakiku. Namun malahan membuatnya semakin liar. Tangan Kak Agun menelusup ke CD-ku.
Aku menjerit, "Jangan..., jangan...", aku berusaha menarik diri. Tapi Kak Agun lebih kuat. Gesekan tangannya mengoyak-koyak helaian rambut kemaluanku yang tidak terlalu lebat. Dan tiba aku merasa nyaris terguncang, ketika dia menyentuh sesesuatu di "milikku". Aku menggelinjang dan menahan napas, "Kak Agun..., ohh.., oh...", aku benar-benar dibuatnya berputar-putar. Jemarinya memainkkan clit-ku. Diusap-usap, digesek-gesek dan akhirnya aku ditelanjangi. Aku hanya bisa pasrah saja. Tapi aku kaget ketika tiba-tiba dia berdiri dan penisnya telah berdiri tegang. Aku ngeri, dan takut. Permainan pun dilanjutkan lagi, saat itu aku benar-benar sudah tidak kuasa lagi, aku pasrah saja, aku benar-benar tidak membalas namun aku menikmatinya. Aku memang belum pernah merasakannya walau sebenarnya takut dan malu.

Tiba-tiba aku kaget ketika ada "sesuatu" yang mengganjal menusuk-nusuk milikku, "Uch..., uch...", aku menjerit.
"Kak Agun, Jangan..., ach..., ch..., ss..., jangan".
Ketika dia membuka lebar-lebar kakiku dia memaksakan miliknya dimasukkan. "Auuchh...", aku menjerit.
"Achh!", Terasa dunia ini berputar saking sakitnya. Aku benar-benar sakit, dan aku bisa merasakan ada sesuatu di dalam. Sesaat diam dan ketika mulai dinaik-turunkan aku menjerit lagi, "Auchh..., auchh...". Walaupun rasanya (katanya) nikmat saat itu aku merasa sakit sekali. Kak Agun secara perlahan menarik "miliknya" keluar. Kemudian dia mengocok dan memuntahkan cairan putih.

Saat itu aku hanya terdiam dan termangu, setelah menikmati cumbuan aku merasakan sakit yang luar biasa. Betapa kagetnya aku ketika aku melihat sprei terbercak darah. Aku meringis dan menangis sesenggukan. Saat itu Kak Agun memelukku dan menghiburku, "Sudahlah Alit jangan menangis, hadiah ini akan menjadi kenang-kenangan buat kamu. Sebenarnya aku sayang sama kamu".

Saat itu aku memang masih polos, masih SMP, namun pengetahuan seksku masih minim. Aku menikmati saja tapi ketika melihat darah kegadisanku di atas sprei, aku jadi bingung, takut, malu dan sedih. Aku sebenarnya sayang sama Kak Agun tapi..., (Ternyata akhirnya dia kawin dengan cewek lain karena "kecelakaan"). Sejak itu aku jadi benci..., benci..., bencii..., sama dia.